It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
menatap cermin
mengecek batin
lirih diam teratawa
berjalan ......
mundur haluan
mencoba ......
aku terdiam
tidak disana di hati yg hanya bergumam
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu
April 1943
Malam ini dingin
Dulu
Kau membawakan selimut tebal untukku
Membuatku hangat
Malam ini dingin
Kemarin kau pun membawakan selimut untukku
Tapi ini bukan selimut yang kemarin
Selimut sekarang lebih tipis
Malam ini dingin
Semalam kau tak membawakan selimut untukku
Kau tau?
Sebenarnya aku kedinginan
Tapi tak apa selama kau masih datang
Malam ini dingin
Semakin dingin
Kau tak datang
Selimutku tak datang
Aku kedinginan...
Puisiku ini tak bersajak
Tanpa rima syahdu
Jauh dari kata-kata indah
Berbincang denganmu menyadarku kita berada di level yang berbeda.
Kau satu-satunya bintang dilangit kelamku.
Jatuh, turun ke bumi tidak untukku.
Lautan itu bergolak, riak menggusur buih, mencipta ombak, menabrak karang. Hening.
Kau imajinerku yang konstan dan tereptisi.
Yang kulakukan kini menghitung masamu.
Puisi dari seorang gading 12 tahun yang kaki kirinya diamputasi sejak dia berumir 2 tahun, ibunya meninggal dan ayahnya pergi ga bertanggung jawab.
Trenyuh bacanya..
Semoga cita2nya menjadi seorang dokter bisa terkabul.
-Rindu-
Duduk menunggu meratap pilu
Duduk terdiam kian membisu
Dulu hati pernah bertalu
Pada kau sang pembuat rindu
Diam renta tanpa suara
Alunan kata mengguncang rasa
Diam renta menahan rahasia
Bagi rindu berbalut romansa
Luas langit rindu tak bertepi
Malam gelap ku harap bermimpi
Rinai hujan berlalu pergi
Dingin meringis teriris belati
Selamat hari puisi nasional!!
-28 April 2016-
Menerjang membabi buta
Menghunus pedang tanpa bicara
Hasratmu kini yang berkuasa
Aku pasrah
Hanya bibir mampu mendesah
Meski kau tau aku berdarah
Pedangmu berayun terus terasah
Kau meledak
Terkulai tak lagi tegak
Terkapar mengejang
Bak ajal menjemput datang
Malaikat pergi dengan catatan
Iblis pergi dengan senyuman
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu,
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.
-Sapardi Djoko Damono-
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
-Sapardi Djoko Damono-
Oh bulan..
Datanglah hai bulan..
Agar hilang syak wasangka
Dari tetangga
Bahwa aku berzina..
sisi lain eros yang durjana
tentang cherubim yang salah memanah
tentang pokok-pokok zaitun yang menari riang di sabana merana
analogi angan mustahil tuk dinalar
karam logika tenggelam dalam gelaran padu kasih dua adam
namun hikayat tak selamanya bungkam
tentang sejarah mereka yang sejawat
dulu saat bumi kian muda
kasih mereka meradang
tentangan sunah dan kodrat bersatu menghadang
mereka langgar perintah tuhan
murka ankara membasuh jejak mereka
bongkah menggurita kelam menelan punah
bersama dosa dalam kubangan nista
dan kini yang tertinggal hanya mengulang
-W.S Rendra-
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.