It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Indra memberiku gumpalan kertas saat dia berjalan mengambil sapu di belakangku. Verry terlihat sibuk memasukkan buku-bukunya. Langsung saja aku lihat gumpalan apa itu. Kalau cuma iseng dia nggak mungkin meletakkan di mejaku dengan kalem.
Alamat rumah ternyata.
Hehehehehe....rupanya dia nggak sabar pengen keluar sama Eggy. Aku jadi bertanya-tanya, saat tau Eggy punya pacar dulu bagaimana perasaannya ya? Dia itu...gengsinya tinggi. Suka tapi nggak mau jujur.
"Pulang?"
Aku langsung mengantongi kertas itu.
"O..oh iya. Kalau lama-lama di sini Liam bisa ngamuk lagi."
"Gy...bantuin bawa buku ke ruang guru," salah satu teman sekelasku menyuruhku.
"Ogah," sahutku, "aku mau pulang."
Dia mendengus dan berlalu pergi. Siapa ya namanya...Intan?
Aku masih belum hafal nama-nama mereka. Bukannya nggak bisa menghafal tapi malas menghafal. Toh kalau aku kembali ke tubuhku...aku nggak bertemu mereka lagi. Jadi...percuma saja.
Aku menatap Indra yang bertugas piket hari ini.
Termasuk dia.
Puk...
"Ayo!! Ngelamun aja."
Verry sudah jalan lebih dulu. Setelah membereskan semua bukuku aku langsung menyusulnya.
"Ver..." panggilku pelan.
Sekolah masih ramai. Banyak anak yang berlalu lalang. Ada yang bergerombol.
"Anak-anak...tau gossip tentang Eggy sampai sejauh mana?"
Seingatku Bella aja sampai tahu tentang foto Eggy yang di tempel di papan tulis.
"Sampai...ya...mungkin sih mereka tahunya kamu homo..."
"Eggy," ralatku.
"Iya Eggy homo. Terus punya pacar cowok."
Iyalah kalau homo pasti pacarnya cowok.
"Masalah foto itu juga kan?"
"Yup. Terus Eggy yang mau bunuh diri dan hilang ingatan."
"Drama banget ya??"
Verry terkekeh.
Tempat parkir juga masih ramai. Tapi dalam sekejap mendadak hilang separuh sepeda motor. Mereka langsung pulang. Mungkin takut kehujanan. Mendung sih.
Aku duduk di atas sepeda motor orang karena Verry duduk di motorku.
"Sebenarnya mereka membicarakanmu dibelakang. Banyak dari mereka yang nggak percaya kamu hilang ingatan dan mengira kamu cuma akting biar dapat perhatian."
Nggak butuh waktu lama satu batang rokok sudah bertengger di bibirku. Semakin sulit merokok dirumah. Liam sering masuk kamar tanpa izin.
"Akting kepala mereka peang."
Verry terkekeh.
"Habisnya...drama banget kan?!"
Aku menghala nafas.
"Iya sih. Kalau temen kantorku mendadak di gossipkan hilang ingatan, aku pasti cuma menyibirnya. Gila aja. Kayak sinetron. Kecelakaan lalu amnesia."
Kali ini Verry terkekeh.
"Tapi banyak juga yang penasaran sama Eggy yang sekarang. Kata mereka Eggy berubah. Jadi cuek...ya Eggy yang dulu cuek sih. Tapi cueknya beda. Eggy yang sekarang cuek bebek nggak ambil pusing. Terus sikapmu terlihat lebih keren. Lebih gampang di ajak ngobrol."
"Intinya aku tuh keren."
"Njiirrrr...."
Aku terkekeh sambil mengusap-ngusap kepala Verry.
"Aduh om. Mataku gatel banget ya. Ada debu..."
"Bulu mata mungkin."
Verry mengucek-ngucek matanya.
"Heeii...jangan dikucek-kucek gitu nanti merah matamu."
Tanganku menghentikan tangannya yang bergerak semangat.
Aku mendekatinya.
"Sini-sini!!"
Verry mendekatkan wajahnya padaku. Matanya merah. Aku melebarkan kelopak matanya.
Nah...bulu mata.
Masa bodoh dengan tatapan orang-orang di sekitar kami. Memangnya aneh ya seorang om mencemaskan keponakannya??
"Aku tiup ya..."
Verry mengangguk.
Aku meniupnya pelan.
Verry langsung mendorongku.
"Bau rokok."
"Tahan bentar lah!!"
Aku kembali meniupnya. Beberapa kali. Tapi si bulu mata masih perkasa melekat di mata Verry.
"Hahahahaha...ada tissue??"
"Nggak punya," Verry kembali mengucek matanya.
Dia melihat spion dan berusaha mengambil bulu mata itu dengan jarinya.
"Iritasi...iritasi..." aku mengingatkan.
Tangannya kotor. Belum cuci tangan.
Sedetik kemudian dia menunjukkan satu bulu mata yang tadi membuat matanya gatal.
"Kalau mau mesra-mesraan liat tempat."
Indra.
Dia mendekati salah satu motor yang terparkir tak jauh dari motorku dan langsung pergi begitu saja.
Setelah memencet beberapa kali bel rumah yang besar itu pintu yang mempunyai gagang berwarna emas itu terbuka. Seorang wanita cantik yang membukanya.
"Sore tante. Indranya ada?" tanyaku basa-basi.
Pastilah dia ada. Mungkin juga dia sudah bersiap diri sejak tadi.
"Oh...temennya??"
Aku tersenyum lalu mengangguk.
"Masuk dulu nak. Indranya masih dikamar. Tante panggilin dulu."
Tanpa bicara apapun aku mengikuti tante itu masuk ke dalam rumah. Kalau di bilang tante sih terlalu berlebihan. Dia seumuran sama mamanya Eggy. Tapi aku nggak asing sama wajahnya. Mungkin aku pernah lihat di suatu tempat.
Besar juga rumahnya.
Tante itu berjalan menuju lantai dua, sedangkan aku lebih memilih duduk di sofa. Jadi Indra anak orang kaya. Hahaha...nggak kelihatan sih kalau dia anaknya orang kaya.
Pintu yang tadi sempat tertutup kembali terbuka.
!!!
Heee?? Huuuhh??? Huuuhh????
"Oh...temennya Indra?"
HEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE......
DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG....
Kepala wilayah di tempatku kerja. PAK BROTO!!!!
Refleks aku menunduk, menyembunyikan wajahku walaupun tau itu sia-sia saja dan tidak berguna.
Pantas saja aku berasa kenal sama mamanya Indra. Istrinya pak Broto. Aku pernah melihatnya dari jauh saat ada acara di kantor dulu.
"Se...se...se...selamat sore pak eh om."
Dia terdiam sesaat sebelum terkekeh.
"Iya sore."
Kawilku ini...papanya Indra??? Dia??? Mati aku.
Mendadak kepalaku seperti di palu. Pusing sekali. Bagaimana nggak pusing kalau aku ketemu kawil? Dan belum lagi...
Aku melirik ke arah pintu masuk.
Temen-temenku dari kantor pusat. Sial. Kenapa mereka bergerombol di rumah ini??? Ada Femmin, Luluk, Roja, Pak Nur, Agus, Septi dan banyak lagi.
"Permisiiiiiiii...." suara Roja menggelegar.
"Ayo masuk-masuk," pak Broto menyiapkan kursi tambahan karena sofa untuk mereka nggak cukup.
Aku langsung bergeser ke tempat duduk yang paling pojok. Sebisa mungkin aku diam dan tidak menunjukkan sikap yang mencurigakan.
Sial...sial...sial... Kalau tahu pak Broto papanya Indra, aku nggak mungkin bikin janji sama dia. Sialan.
"Pak nggak ada bir atau apa gitu??" Roja selalu saja....
"Memangnya kamu pikir rumahku ini tempat hiburan malam apa?!"
Beberapa orang terkekeh.
"Eh Ivano mana??"
"Lho...tadi dia sama kamu kan Luk?"
"Enggak tuh."
"Di depan dia. Katanya panas. Mau cari angin."
"Pak nggak ada cemilan gitu?"
"Kalian ini...sudah-sudah. Nanti aku traktir makan."
"Pak ini anakmu ya?"
Sial...Femmin membuat semua perhatian mereka tertuju padaku.
"Bukan, dia temennya anakku."
Aku tersenyum. Mereka juga ikut tersenyum. Hanya beberapa orang saja sih.
"Pa..."
Nah...tuan putrinya baru turun. Ngapain aja dia daritadi?!
"Nah ini baru anakku. Namanya Indra."
Indra menatapku sekilas sebelum tersenyum pada teman-temanku.
"Pak, kok gantengan anaknya?!"
"Hahahahaha...mulutmu itu Ja."
"Hahahaha..."
"Mau keluar?" tanya pak Broto.
"Iya. Papa sendiri?"
"Mau makan-makan. Tadi dari rumahnya temen papa. Njenguk."
DEG.
Siapa? Njenguk aku?
"Eh...eh!! Pak Erick kok jadi kurus gitu ya?"
DEG.
"Eh iya lo. Padahal cuma dua bulan kan?!"
DEG DEG.
"Tiga bulanan lah."
DEG DEG DEG.
"Tiga bulan."
DEG DEG DEG DEG.
"Tapi kok sudah sekurus itu ya?"
DEG DEG DEG DEG DEG.
"Ya ampun aku nggak tega liatnya sumpah."
DEG DEG DEG DEG DEG DEG.
"Namanya juga cuma dapat nutrisi dari infus dan makanan cair."
DEG DEG DEG DEG DEG DEG DEG.
"Diselang. Ya ampun. Aku tadi hampir nangis liatnya."
"Aduh...nggak tega banget aku."
Nafasku...wajahku...telingaku...terasa panas mendengarnya. Ada semacam listrik tak kasat mata yang menyetrum tubuhku. Bisa aku rasakan kalau tubuhku gemetar. Aku mengepalkan tanganku erat.
"Pa aku keluar dulu ya," pamit Indra, "yuk!!"
Aku menatap Indra yang sedang menatapku juga. Akhirnya aku mengikutinya.
Tapi langkahku terhenti. Aku melihat teman-temanku yang masih membicarakanku.
"A...ANUUU..." mungkin aku orang terbodoh yang pernah ada.
Mencari perhatian sendiri. Padahal mereka tidak memperhatikanku.
"Makasih sudah njenguk Er...Om Erick," kataku pelan.
Biarpun begitu aku ingin ngucapin makasih pada mereka. Tulus dari hatiku. Mereka mau menjengukku. Sedangkan aku terpenjara dalam ketakutanku sendiri.
Aku bisa melihat wajah mereka yang kebingungan.
"Kamu kenal pak Erick?" tanya Femmin.
Aku terdiam sesaat sebelum menggeleng. Tanganku mengepal.
"Kenal sih enggak. Tapi aku...aku orang yang...menyebabkan om Erick kecelakaan."
Kini dapat aku lihat ekspresi kaget dari wajah mereka. Mereka terdiam dan hanya saling berpandangan. Aku bisa merasakan cengkraman di lenganku. Indra...seolah memberiku dukungan.
"Aku sampai sekarang nggak berani menjenguknya. Aku takut. Tapi aku mau ngucapin terima kasih. Mungkin...om Erick senang dengan kedatangan kalian."
Roja mendekatiku sambil tersenyum. Aku hanya bisa menundukkan wajahku. Tak bisa di pungkuri...di antara ketakutanku ada rasa bahagia yang tak terhingga saat tahu mereka mengkhawatirkanku.
"Kamu takut? Jangan takut. Itu kan kecelakaan," kata Roja, "pak Erick itu punya banyak nyawa."
"Iya...dia manusia super hahahaha..."
Perlahan-lahan aku mulai menatap mereka. Saat mereka membicarakanku...aku senang.
"Tahu nggak saat dia hampir kejatuhan pipa besi??"
Luluk mengangguk.
"Dia selamat karena tali sepatunya lepas."
"Kalau melangkah selangkah saja...."
"Tamat."
Aku menggaruk kepalaku. Iya...kejadian itu...hampir membunuhku.
"Nah...begitu juga dengan saat ini. Dia pasti bisa bertahan. Jangan takut. Jangan...menyalahkan diri sendiri ya."
"Benar-benar."
"Aku....minta maaf," kataku pelan.
Karena sudah membuat kalian khawatir.
Lagi-lagi mereka tersenyum.
"Lain kali...minta maaf langsung sama dia saat dia sudah sadar. Oke?!"
Aku mengangguk lalu tersenyum.
~whoami pov~
Gommen...aq g bisa summon satu2...cz aq bngung sapa aja yg msh baca ceritaku...jd klo aq update..aq ksh angkanya tuh hehehe...liat aja dr situ
Summon
@lulu_75 @Riyand @Aurora_69 @RaraSopi @RakaRaditya90
Saat aku keluar dari rumah Indra, hal pertama yang aku lihat banyaknya kendaraan bermotor. Bodoh...kenapa tidak pinjam mobil kantor? Rasanya aku nggak kanget lagi melihat kebodohan mereka.
"Dra...!!!" aku melempar kunci motorku padanya, "kamu yang nyetir ya."
Indra langsung manyun-manyun. Saat Indra mendekati motorku...aku melihat seseorang yang bersandar di mobil pak Broto.
Ivano...
Dia melamun...dan menangis? Biarpun dari kejauhan aku bisa melihat tetesan-tetesan air mata yang jatuh dari wajahnya.
"Ngapain sih lama banget??" protes Indra yang kini mendekatiku.
Aku memberinya kode untuk diam. Indra langsung paham saat melihat Ivano.
"Ngapain dia nangis??" tanya Indra sambil berbisik.
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Ini sudah kedua kalinya aku melihat dia menangis. Dulu waktu dia baru masuk kerja di tempatku, aku tidak sengaja melihatnya bertengkar dengan ceweknya. Dia kena tampar...
*******************
"Jam sebelas...." desisku saat melihat jam kantor sudah menunjukkan angka yang mengerikan.
Pandanganku beredar di ruangan. Orang-orang masih lengkap. Mereka masih mengerjakan laporan, begitu juga denganku. Setahuku di ruangan lain juga sama. Belum bisa pulang. Ada yang menguap, ada yang mencoba istirahat sebentar dengan menyusun kursi berjajar untuk tidur. Pemandangan ini sudah biasa disini. Apalagi saat akhir bulan. Laporan harus selesai.
"Pak dua toko ini nagihannya susah. Yang ini malah nggak tahu kemana orangnya. Sudah dua minggu ini di cariin tapi nggak ada," Luluk memberiku laporan tentang beberapa toko nakal.
"Yang punya sama sekali nggak bisa di hubungi?"
"Nggak bisa pak. Nomornya aja nggak aktif."
Aku menghela nafas.
"Ya udah kamu usahain buat menghubungi pemiliknya lagi. Kalau nggak salah Roja punya nomor telefon istrinya.
"Waduh Ja...kamu ngapain nyimpen nomor istrinya pak Kukuh??"
Roja langsung melempar stabilo ke Luluk.
"Pak!! Truck yang dicuri nasibnya gimana? Tadi pak Andreas tanya. Aku nggak bisa jawab apa-apa."
"Nanti aku urus sama polisi kenalanku. Kamu fokus aja ke BS. Kalau nggak salah ada tiga ratusan karton. Kamu cek itu bener apa nggak."
"Oke pak."
"Pak tadi pak Broto tanya masalah ramah tamah sama toko. Jadinya kapan..."
"Kamu tanya lah sama Diaz. Dia yang aku suruh ngurus itu kemarin."
"Tapi katanya Diaz bingung mau cari lokasi di mana. Gedung yang biasa kita pakai masih di renovasi."
"Ya udah lah pakai gedung lama aja. Kan di sana luas tempatnya. Lagian kalau masalah tetek bengek gitu bisa di urus besok. Sekarang aku butuh laporan penjualan kalian hari ini...nggak...sebulan ini. Kalau nggak capai target...awas aja. Aku denda kalian nanti. Satu orang lima puluh ribu."
"Deeeehhh....bonyok deh bonyok."
"Kalau nggak mau bonyok, sales kalian juga di denda dong. Biar tambah semangat kerjanya."
"Nggak yakin deh pak hahaha..."
"Buruan-buruan!! Itu yang lagi tiduran, sana kembali kerja!!"
"Aduh paaaaaaakkk...ngantuuuukkk..."
"Paaaaakkk...istri minta kelooonn...."
"Selesain dulu kerjaan kalian baru pulang ngelonin istri."
Jariku memencet angka lima....
"Teng, buatin kopi untuk ruangan lantai dua ya."
'Berapa orang pak Erick?'
Pandanganku beredar lagi keruangan yang dingin oleh AC.
"Tiga belas orang."
'Iya pak, tunggu sebentar ya pak.'
Aku berdiri sambil meluruskan tanganku ke atas.
Sepertinya aku butuh istirahat nih.
Benar dugaanku. Ruangan di lantai bawah juga masih lengkap penghuninya.
"Lembur ya Yas?!" godaku ke Andreas yang biasanya pulang paling awal.
Dia sedang bersandar di pintu sambil mengutak-atik hpnya.
Dia hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Gila...penjualan bulan ini merosot tajam Rick. Kalau pak Broto tau bisa mati aku."
Aku juga kali.
"Bulan ini paling parah. Belum lagi truck yang dicuri itu."
"Ah iya...itu gimana tuh? Trucknya," kini dia menatapku.
Aku mengangkat bahu sambil mengapit sebatang rokok di bibirku. Setelah memberinya sedikit api dari korekku, rokok itu berpindah di sela-sela jariku.
"Besok aku urus lah sama Ivano...mungkin."
Kalau nggak males. Kalau males aku nyuruh Ivano sama Luluk aja yang ngurus.
Ah iya...kemana bocah itu...daritadi nggak ada. Laporannya juga belum lengkap.
Baru juga Andreas mau membuka mulutnya, dia sudah dihampiri sama Lila yang membawa berkas-berkas.
Melihatnya sibuk seperti itu membuatku urung mengajaknya ngobrol. Akhirnya aku berpindah lokasi di taman. Menghabiskan satu batang rokok dulu lalu kembali dengan kegiatan yang memusingkan itu.
PLAAAAKKK!!!!
??
Suara dari sisi kiriku membuatku terusik. Aku mencoba melihat ada apa di sana. Di taman kantor pencahayaannya sedikit kurang. Jadi aku harus memicingkan mataku untuk tahu apa yang terjadi. Ada dua sosok, cowok dan cewek. Yang berdiam diri sebelum si cewek itu melontarkan umpatan demi umpatan.
Ivano dan...Yulia??
Kalau nggak salah mereka pacaran kan?
Yulia pergi begitu saja meninggalkan Ivano. Aku masih diam dengan tenang di tempatku menyaksikan drama yang disiarkan langsung itu. Ivano terlihat tertunduk. Dia berjalan menuju arahku. Saat dia sadar dengan sosokku, dia terkejut. Dia langsung salah tingkah.
"E...em...pak Erick," dia langsung membersihkan wajahnya yang terlihat tergenang air.
Masa sih mereka tadi putus?
Ivano ini baru beberapa bulan bekerja di tempat ini. Anak baru dia. Masih cupu. Manis sih anaknya. Rambutnya sedikit bergelombang.
"Laporan kamu apa sudah selesai?" tanyaku kalem tapi sukses membuatnya ketakutan.
"Be...belum pak. Tadi...tadi ada masalah sedikit jadi..."
"Ya udah kamu selesain dulu. Jangan kelayapan. Kalau kalian belum selesai, aku juga nggak bisa pulang."
"Iya pak, maaf," dia buru-buru pergi meninggalkanku.
********** (♡.♡) *************