It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Kenapa perbannya dilepas? Dasar ceroboh, ayo ke UKS" omel Raiz lalu menarik tanganku.
Sementara Toni dan kak Iwan hanya diam melihat sikap Raiz. Tapi mata mereka tetap memandangiku. Memandang dengan tatapan lapar, seperti tatapan Raiz semalam. Membuatku risih.
"Iz..., tadi ada orang dikamar kita" ucapku sambil melepas genggaman tangan Raiz. Aku merasa lemah kalo digandeng begini. Selain itu Raiz mencengkram pergelangan tanganku terlalu keras, rasanya jadi sakit.
"Aku tau, aku sudah liat orangnya" jawab Raiz sambil menarik lagi tanganku.
"Bukan mereka, ada orang lain sebelum kak Iwan dan Toni" ucapku, sambil melepaskan lagi genggaman tangan Raiz.
"Kita bahas nanti setelah lukamu itu diobati" ucap Raiz sambil mendengus. Dia tampak kesal.
"Tapi aku harus cerita sekarang, sebelum aku lupa" jawabku.
"Aku bilang nanti !!" ucap Raiz setengah membentak, membuatku terkejut. Aku menepis tangan Raiz saat akan menarik tanganku lagi. Raiz tersentak melihat ulahku.
"Maaf, aku gak bermaksud bentak kamu Di" ucapnya menyesal, tapi aku terlanjur kesal. Jadi saat Raiz akan mengamit tanganku. Aku mundur beberapa langkah darinya.
"Gak usah digandeng" ucapku bete.
"Kenapa? Kamu malu jalan gandengan sama aku?!" ucap Raiz sambil menahan bahuku. Dia sangat menyebalkan siang ini. Aku menatapnya marah.
"Aku bisa jalan sendiri, gak perlu digandeng-gandeng" ucapku lalu pergi dari hadapan Raiz.
"Di, tunggu" jerit Raiz tapi aku mengabaikannya.
"Di, tunggu" Raiz berhasil menyusulku.
"Pergi sana!" omelku.
"Maaf, aku bukannya marah sama kamu" ucap Raiz coba menjelaskan sambil menarik lenganku.
"Diam" sewotku.
"Di, plis dengerin dulu" ucap Raiz memelas.
"Kamu gak usah ngomong sama aku. Aku marah" jawabku sambil ngeloyor pergi.
Aku masuk ke dalam ruang UKS. Didalam ruang UKS dokter jaga lagi ngemil takoyaki, baunya wangi. Mendadak perutku lapar. Sebenarnya dokter jaga agak kaget waktu melihatku masuk ke UKS, dia sampai lupa menelan takoyaki dimulutnya. Membuat wajahnya terlihat lucu. Tapi gak lama, dia buru-buru menelan makanannya dan mencuci tangan.
Dokter mulai mengobati luka dikeningku. Sementara mataku, memandangi lehernya yang putih. Lalu memandangi nametag dijas putihnya. Widiatmaka Prasetyo. Itu namanya? Kalo kuperkirakan usianya, mungkin sekitar 30 an. Dia tinggi, ramping, sama sepertiku. Gak berotot.
"Luka jahitmu terbuka, bagusnya gak terlalu dalam. Aku sudah membersihkannya, kuharap lukanya bisa segera menutup lagi" ucap dokter jaga sambil merapikan lagi peralatan medisnya yang tadi digunakan untuk mengobatiku.
"Sama-sama" jawabnya sambil mencuci tangan.
"Omong-omong, kamu punya bentuk kaki yang menggoda" ucapan dokter jaga membuatku melongo sejenak. Bentuk kaki?
Aku memandangi kaki ku bingung.
"Maaf dokter tapi kaki Diaz dan seluruh tubuhnya sudah jadi milikku, dokter cari yang lain aja" tiba-tiba Raiz sudah ada disebelahku.
"Benarkah? Sayang sekali, padahal kupikir tadi, Diaz sengaja menggodaku dengan mengekspos pahanya didepanku" kelakar dokter jaga. Membuatku sadar satu hal, kalo ternyata aku hanya memakai celana boxer pendek diatas lutut. Hizz....
Aku mengabaikan pembicaraan dokter dan Raiz. Mereka terlihat sangat akrab. Padahal harusnya dokter jaga terkejut kan? Mengetahui kalo aku dan Raiz punya hubungan 'lebih' dari teman. Tapi dokter malah tertawa.
Mataku memandangi takoyaki dimeja kerja dokter. Perutku berbunyi tanpa malu.
"Kamu lapar?" tanya dokter jaga itu. Aku mengangguk berharap dokter jaga mau menawariku takoyaki miliknya.
"Pergilah, ajak pacarmu ini ke kantin. Siapa tau dia sedang isi" ucap dokter pada Raiz, aku menelan lagi liurku yang hampir menetes mendengar ucapan dokter jaga. Kurang asam!
"Tunggu sini ya, aku beli dulu" ucap Raiz lalu segera berlalu dari UKS.
"Jadi, sudah berapa lama kamu pacaran sama Raiz?" tanya dokter sambil menarik kursi lalu duduk dihadapanku.
"Dokter kenal Raiz?" tanyaku sedikit penasaran.
"Dulu aku menyukainya. Dia seksi" jawab dokter sambil tertawa. Ah, aku jadi ingat sesuatu.
"Jadi apa dokter yang memasukan surat cinta kaleng dalam loker Raiz?" tanyaku langsung.
"Surat cinta kaleng? Hahaha aku terlalu tua untuk melakukan hal itu" dokter tertawa lepas tanpa beban. Artinya bukan dia pelakunya. Apa mungkin, siswa yang tadi masuk kedalam kamarku yang melakukannya? Tapi aku gak bisa juga nuduh tanpa bukti.
"Di, makanlah. Aku sengaja pesan yang isinya keju, kesukaanmu" ucap Raiz sambil menyodorkan seporsi takoyaki hangat dihadapanku. Cepat amat dia balik dari kantin.
"Aku gak nyuruh kamu pesan" omelku.
"Aku suapin ya" ucap Raiz lagi.
"Maaf menyela, bagaimana kalo kalian cari tempat lain untuk bermesraan" celetuk dokter jaga. Aku berpandangan dengan Raiz mendengar ucapan dokter. Setelah berpamitan, Raiz buru-buru membawaku kesuatu tempat.
Dia tersenyum saat melihatku dan Raiz. Sebaliknya, emosiku justru tersulut saat menatapnya. Dengan kesal aku langsung meninju wajah siswa itu hingga membuatnya tersungkur ke lantai.
"Di !!" Raiz berteriak sambil menarik lenganku.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Raiz pada siswa itu.
"Gak, gak apa-apa cuma sedikit nyeri" jawab siswa itu sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
"Di, kalo kamu kesal sama aku. Pukul aku jangan lampiaskan ke orang yang gak tau apa-apa kayak gini" ucap Raiz emosi.
"Sudahlah, aku gak apa-apa. Jangan marah sama Diaz" ucap siswa itu.
"Cih, munafik. Dia tau alasan kenapa aku memukulnya" ucapku keras sambil menarik krah kemeja siswa itu.
"Di !! Lepasin dia" ucap Raiz sambil menarikku.
"Gak! Aku harus buat perhitungan sama dia" ucapku lagi.
"Diaz, aku bilang lepasin dia!" bentak Raiz sambil menamparku.
"Maaf Di, aku gak bermaksud memukul mu" ucap Raiz serba salah. Aku diam, tapi hatiku sakit luar biasa. Raiz masih bicara saat aku meninggalkannya.
Aku juga masih bisa dengar saat Raiz memanggil namaku. Tapi kaki ku tetap melangkah, menjauh dari tempat itu. Menuju kamarku. Aku berfikir, mungkin sebaiknya aku pindah kamar, nanti kalo sakit hatiku sudah sembuh, aku balik lagi. Tapi, aku mau numpang dikamar siapa? Lagipula aku bukan anak kecil yang kalo ngambek terus musuhan kan?
Pintu kamarku sudah dibetulkan. Kak Iwan pasti yang memperbaikinya, nanti kalo bertemu dengannya, aku mau bilang terimakasih. Aku masuk kekamar lalu merebahkan tubuhku ditempat tidur.
Pikiranku kembali pada saat Raiz menamparku. Pipiku sakit. Tapi hatiku juga sakit, sampai rasanya tulang-tulang igaku ikut terasa sakit. Aku menghela nafas, dadaku sesak. Aku tau Raiz gak bermaksud menaparku, mungkin tadi dia emosi karena aku gak mau mendengarkan ucapannya.
Kuputuskan untuk pergi ke kantin. Aku mau makan yang enak-enak. Aku melangkah santai menuju kantin yang letaknya ada dibagian belakang sekolah. Melewati bangunan UKS dan perpustakaan. Lalu tanpa sengaja, mataku melihat Raiz sedang memapah siswa itu keluar dari ruang UKS.
Aku berhenti melangkah, menatap keduanya hampa. Hatiku nyeri. Sampai akhirnya mataku bertemu pandang dengan dokter jaga. Aku buru-buru memalingkan wajahku. Dan melanjutkan langkahku yang sempat terhenti.
Begitu sampai dikantin, aku segera memesan banyak makanan. Aku minta semua makananku diberi cabe. Lalu melahap semuanya sampai tandas.
Aku kekenyangan, perutku sakit. Mulutku terasa jontor karena kebanyakan makan pedas. Aku terkekeh sendiri melihat ulahku. Kayaknya aku cemburu karena Raiz lebih memihak siswa itu daripada aku.
"Yas??" aku memalingkan wajahku kesumber suara.
"Kamu ngabisin makanan sebanyak ini?" tanya Toni sambil menatapku ngeri.
"Tolong bantu aku keluar, perutku sakit" ucapku, tanpa menunggu lama Toni segera membantuku berjalan keluar dari kantin.
Sepanjang jalan menuju kamar, aku hanya diam. Pun juga Toni. Dia menuntun langkahku tanpa banyak bicara. Meski sesekali dia mencuri pandang kearahku.
"Toni" ucapku memecah kebisuan kami.
"Hmm..." jawab Toni.
"Antarkan aku ke loker ya, ada barang yang mau ku ambil" ucapku lagi.
"Iya, naiklah kepunggungku biar ku gendong" jawab Toni, aku menatapnya, Toni balas menatapku.
"Gak usah, aku masih kuat jalan. Omong-omong Toni, matamu itu keren" ucapku.
"Iya, dari lahir" kelakar Toni, aku nyengir gak tau lagi mau menanggapi seperti apa jawaban Toni tadi.
"Aku gagal membuatmu senyum. Sebagai hukuman, ijinkan aku menggendong yang mulia" Toni berlutut didepanku. Aku nyengir, lagi. Agak merinding juga waktu Toni menyebutku yang mulia. Bukan merinding karena tersanjung tapi karena malu. Toni sungguh gak pandai membuat lelucon.
Jadi daripada diliatin siswa lain, aku segera naik kepunggung Toni. Dan menghilang(?) dari sana.
@Aurora_69 yuk baca lg lanjutannya ^^
@lulu_75 gak ada hubungan apa" kak lulu, hanya sebatas pengagum rahasia ^^
Punggungnya lebar dan hangat, seperti punggung papa. Andai Raiz yang menggendongku sekarang ini. Aku pasti senang sekali. Aku menempelkan pipiku ke bahu Toni.
Banyak mata yang melihat kearah kami. Mereka pasti berfikir kalo aku sudah terkena kutukan Toni. Meski semua cerita itu gak benar tapi sudah terlanjur menjadi buah bibir.
Toni pasti melewati harinya dengan berat. Hingga dia jadi pendiam dan tertutup.
"Kita sampai" ucap Toni. Aku turun dari gendongannya. Ruang loker selalu sepi, jarang ada siswa yang datang kesini kecuali ada yang tertinggal. Loker kami dibuat berderet sesuai abjad. Ada seratus loker dalam satu deret, disesuaikan dengan jumlah siswa per kelasnya.
Samar kudengar orang bersiul dari arah loker paling belakang. Toni menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Sepertinya dia mendengar apa yang tadi kudengar.
Aku mengikuti langkah Toni kearah belakang. Kami bersembunyi saat semakin dekat dengan sumber suara. Dan aku melihatnya, siswa itu memasukan secarik kertas bersampul biru kedalam loker Raiz.
"Itu loker Raiz, Yas" Deg!
"Aku mau ambil gambarnya. Ini bisa jadi bukti buatku, supaya Raiz berhenti menuduhku" bisik Toni lagi, sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Jadi benar dugaanku, kalo pengagum rahasia Raiz itu Surya.
Toni berhasil mengambil foto Surya tapi sayangnya suara kamera ponsel Toni saat mengambil gambar mengeluarkan bunyi yang cukup membuat Surya menoleh.
Surya terlihat waspada, dengan cepat dia berjalan ketempat kami bersembunyi.
"Shit !" maki Toni lalu buru-buru menyerahkan ponselnya padaku.
"Cepat sembunyi" ucap Toni sambil mendorongku, dengan detak jatung lebih cepat, aku segera berjingkat dari tempat itu. Bersembunyi diloker lainnya, bagusnya posisiku dan Toni ada di ujung loker membuatku bisa dengan cepat berpindah tempat.
Aku mengatur nafasku sambil berdoa supaya Toni bisa mengalihkan perhatian Surya.
"Kamu!?" ucap Surya terkejut.
"Lama gak ketemu, apa kabar Surya?" jawab Toni tenang. Hebat, padahal tadi Toni terlihat gugup. Cepat sekali dia mengendalikan emosinya.
"Cih, cepat berikan" ucap Surya.
"Ah, sayangnya sudah kuberikan pada orang" jawab Toni enteng.
"Jangan membuatku marah, cepat berikan!!" bentak Surya.
"Katakan, kenapa aku harus memberikannya padamu? Kamu takut Raiz tau?" ucap Toni sambil bersedekap.
"Jangan main-main denganku. Berikan foto itu cepat!!" ucap Surya geram.
"Sudah kubilang, foto itu gak ada padaku" jawab Toni santai.
"Kamu! BERIKAN !!" ucap Surya keras membuatku terkejut dan gak sengaja menjatuhkan ponsel Toni.
Aduh, seharusnya tadi aku keluar dari sini. Ck.
Dengan cepat kumasukan ponsel Toni kesaku celanaku.
"Wah wah wah, lihat siapa yang sedang bersembunyi disini" aku hanya menatap datar pada Surya yang berdiri pongah dihadapanku.
"Kita belum selesai" sela Toni mencoba mengalihkah perhatian Surya dariku.
"DIAM !!" bentak Surya kesal.
Aku menyesal gak ikut eksul bela diri, setidaknya aku bisa punya jurus untuk melindungi diri dalam situasi begini. Aku gak bisa berkelahi, aku pasti akan kalah melawan Surya.
Dia mencekik leherku, kuat. Nafasku tercekat.
"Mati, itu balasan untuk orang yang sudah mengganggu kesenanganku" seringai Surya membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Aku berusaha meninju perutnya tapi tinjuku sama sekali gak berpengaruh buatnya.
Surya hanya terkekeh melihatku berusaha menyingkirkan tangannya dileherku.
"Lepaskan Diaz" ucap Toni keras, aku melihat api keluar dari kepalan tangannya.
"Jangan macam-macam atau Diaz mati" ancam Surya sambil mencekikku lebih kuat. Aku gak bisa bernafas. Tubuhku lemas, lalu entah seperti apa seluruh ruangan dipenuhi api. Surya melepaskan cekikan tangannya dileherku.
Aku menggelesoh dilantai sambil terbatuk-batuk. Alarm tanda kebakaran berdering nyaring.
"Jangan mendekat" ucap Surya keras, lalu menarik tubuhku untuk menjadi tameng agar Toni gak menyerangnya.