It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sory yah Rem,, he3x..
ayoo lanjooott
Untuk memulai sebuah hubungan bisa dibilang susah susah gampang, apalagi hubungan sesama pria, lbh tidak mudah, lbh tidak direstui dan bnyk rintangan, lbh berat lagi jika salah satu pihak sudah berkeluarga. Mgn cinta bener2 buta. Hargailah tiap relationship yg terbina, saya yakin tokoh Iqbal dalam cerita ini mencintai Remy sepenuh hati, karena Remy satu2nya pria yg prnh masuk ke kehidupannya.
Cerita berjalan hingga posisi ini, sungguh berharap si Penulis bisa rukun kembali dengan Iqbal, jika bener2 saling mencintai, jgn ada penambahan tokoh baru lagi dalam cerita ini.
Saya rasa komen lainnya sudah bnyk dari member lain.
Hanya sekedar memberi pendapat, salah kenal, saya adalah member baru.
salah kenal ama sapa loe???
Salam kenal kali...
bikin nagih kayak serial tv amerika...
lagi2 gw berharap remy ama iqbal...tapi klo diliat kedepannya...aga susah juga sih...things are gonna be more complicated...
cmn tar klo ketauan,bisa2 hubungan remy pada ancur semua
semalaman gw melototin laptop ga bosen2
keep ur move... n salam kenal...
THE STALKER -Part VI
"Kenapa kamu malah berhenti??" tanyanya.
"Kenapa ente ngikutin?" aku balik bertanya.
"Mau tau rumah kamu dimana!"
"Kenapa enggak nanya?"
"Takut kamu enggak ngasih tahu!"
"Kenapa nyangka begitu?"
"Kamu ngehindar terus!"
"Itu karena kamu nyeremin!"
"Nyeremin gimana?"
"Ente kayak psikopat!"
Kalimat terakhir itu mengakhiri aksi sahut-sahutan kami berdua di atas jembatan. Kami terdiam sementara sebuah motor sengaja melambatkan jalannya saat lewat dengan pengendaranya yang menatap heran ke arah kami berdua.
"Ente kayak temen SD ku aja dulu!" kataku sambil kembali mengenakan helm.
Entah kenapa tiba-tiba terlintas kembali memoriku sewaktu SD. Saat aku kelas tiga ada anak baru pindahan yang sangat pendiam. Dia tidak mau bergabung dengan teman-teman yang lain. Suatu hari saat aku pulang ke rumah sendirian, aku melihatnya diam-diam mengikutiku dengan malu-malu. Saat kutanya, dia menjawab ingin main ke rumah tapi tidak berani bertanya padaku.
"Kenapa?" tanyaku waktu itu.
"Habis kamu enggak pernah sendirian..." katanya.
"Sekarang aku sendirian!"
"Tapi kan kemaren-kemaren enggak!"
Situasinya persis seperti hari itu, kita berdua bersahut-sahutan di pinggir jalan. Akhirnya aku membiarkan anak itu tetap mengikuti di belakang kemudian aku mempermainkannya dan berputar-putar dahulu sebelum benar-benar ke rumahku. Sampai dirumahku pun anak itu hanya diam saja saat aku ajak ngobrol sebelum akhirnya dia pulang. Mulai keesokan harinya dia tidak pernah lagi bicara denganku dan aku pun tidak lagi memedulikanya. Anak itu hanya satu tahun saja sebelum dia pindah sekolah tepat kenaikan kelas.
Saat aku hendak menyalakan kembali motorku, kulihat cowok itu tertawa.
"Kenapa ente ketawa?" tanyaku.
"Kamu masih inget ya? Kata si cowok itu.
Ingat? Tidak juga sih. Aku tidak ingat lagi wajah anak itu. Bahkan Namanya!.
"Aku Erwin! temenmu yang pindahan waktu kelas tiga SD Rem!" Katanya lagi masih sambil tertawa.
Aku membuka kembali helmku. Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya namun aku sama sekali lupa. Tapi Erwin? Ya! aku baru ingat kalau nama anak itu adalah Erwin.
Walaupun aku tetap menolak permintaan Erwin agar aku membolehkannya ke rumahku malam itu, aku setuju untuk mencari tempat mengobrol. Akhirnya kami memilih sebuah tenda pinggir jalan yang menjual Pecel lele dan ayam goreng.
Aku meneguk air jeruk hangatku hingga habis setengahnya. Erwin memperhatikanku sambil tersenyum-senyum.
"Kenapa?" tanyaku setelah meletakkan gelas.
"Enggak... kamu haus apa doyan Rem?" tanyanya.
"Bukan! gue stress diikutin mulu sama ente!"
Erwin tertawa.
"Tau gak Rem? waktu kamu bilang kalau aku kayak temen SMA kamu, aku pikir kamu masih inget sama aku... ternyata kamu cuma basa-basi ya?"
"Iya.. sori... gue bener-bener enggak inget. Apalagi ente sekarang udah keren kayak gini."
Kami lalu saling bertukar cerita. Erwin kini bekerja sebagai programmer komputer di sebuah perusahaan asing.
"Programmer?" tanyaku tak percaya.
"Iya. Emang kenapa?"
"Enggak kenapa-napa sih, cuma tampang ente enggak cocok jadi programmer! Eh.. pernah ada yang bilang gak? kalo ente mirip..."
"Tommy Tjokro! iya! udah banyak yang bilang begitu." Potong Erwin. Aku tertawa.
"Yah, padahal aku berharap loh temen se-gengmu yang cowok itu beneran nitip salam sama aku..." Kata Erwin sambil menerawang.
Aku terkejut dengan ucapannya dan langsung menatapnya heran. Erwin yang ditatap seperti itu akhirnya menoleh.
"Ups.. sori Rem! kamu enggak nyaman ya kalau aku bilang aku ini... ng.. (Erwin menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar) Gay?" Kata terakhir diucapkannya dengan pelan.
Aku menelan ludah sebelum berkata gugup. "Enggak kok..! enggak... ehm! sejak.. eh... sejak kapan?"
"Mungkin sejak kelas tiga SD kali ya? You know Rem? I was secretly in love with you that day.." Ujarnya sambil tertawa.
Aku salah tingkah dan buru-buru meneguk air jeruk yang tinggal setengahnya itu. Kurasakan wajahku memanas. Pasti dia melihat wajahku kini bersemu merah.
"Sori Rem.. kamu enggak fobia kan?" tanya Erwin. "Aku terlalu ceplas-ceplos ya?"
Aku menggeleng. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah gaydar itu benar-benar ada? kalau ada, mengapa cowok satu ini tidak bisa mendeteksi seorang gay yang jelas-jelas berada di sampingnya.
Aku meneguk lagi air jeruk itu padahal aku sendiri sudah tidak terlalu haus.
"Ng.. ente lagi deket sama seseorang sekarang?" tanyaku.
"Baru putus 2 bulan lalu." Giliran dia meneguk es teh manisnya sambil melihat entah apa didepannya.
"Makanya, sebenernya aku tertarik sama temen satu geng-mu itu. Tapi kayaknya aku enggak ada harapan ya? kayaknya dia cuma belagak jadi gay."
Mendengar kata-katanya, mau tidak mau harga diriku seolah dikelitiki. Benar tidak sih? kalau ini cuma soal selera? kenapa dia selama ini membuntuti aku kalau ternyata dia tidak tertarik? AKhirnya aku tergoda untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang akan kusesali kemudian.
"Emang menurut ente temenku itu keren banget ya?" pancingku.
Erwin hanya diam menatapku.
"Kok diem?"
Erwin tersenyum lalu berkata, "Sebenernya kamu juga enggak kalah keren Rem... cuma buat apa? sedangkan aku lebih milih buat tertarik ke seseorang yang kupikir tadinya lebih pasti aja... kayak temenmu itu.. Tapi ternyata..."
"Gue juga sama kayak ente!!" sahutku. Bodoh! Bodoh! Bego! aku mengutuk diriku sendiri dalam hati. Buat apa aku berkata seperti itu? Ternyata harga diri yang telah diremehkan membuatku melakukan hal-hal yang tidak kupikirkan masak-masak.
Anehnya Erwin tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan seperti yang aku duga. Dia kini malah tertawa."Akhirnya kamu ngaku juga Rem... ternyata kamu enggak berubah ya dari dulu.. selalu pengen bersaing sama orang lain..."
"Ma.. maksud ente apaan?"
"Aku harus yakin dulu dong sebelum lanjut... makanya aku pancing kamu dengan bilang suka sama temen kamu itu..." katanya lagi.
Kemudian dengan mimik lucu Erwin menaruh kedua lengannya di kedua sisi kepalanya dengan jari telunjuk yang teracung hingga menyerupai antena. Lalu dia berkata geli, "....gaydar!!"
Aku duduk dengan lemas menyesali emosiku yang telah terpancing oleh permainan yang dilakukan Erwin. Apakah ini karma? karena aku juga dulu pernah melakukannya pada Iqbal dengan pura-pura tidak tertarik untuk mengetahui reaksinya. Kini giliran aku yang merasa telah terjebak!