It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Thanks ya, lo dah mo jadi tumpuan perasaan gw…”ucap Dito disamping telinga Mandala. “Gw tau perasaan lo karena gw juga merasakan hal yang sama yang lo rasain, tumpahkanlah apa yang masih mengganjal ke gw selama gw masih ada disini,’ ujar Mandala sambil menepuk pundak Dito yang pada saat itu masih dalam pelukannya. Dito tidak menjawab. Dia hanya memeluk erat tubuh Mandala. Menumpahkan perasaannya. Menenangkan jiwanya. Dalam kelarutan itu, tanpa disadari bibir Dito menempel di pundak kanan Mandala. Mandala membalas dengan menempelkan bibirnya di leher kiri Dito kemudian bisiknya,”Jangan khawatir gw akan selalu ada untuk lo,” ujarnya singkat. Hanya kata “Thanks” yang kluar dari bibir Dito pada saat itu. “Gw sayang lo…,”balas Mandala yang tidak mengerti keberanian apa yang membuat dia mengucapkan kalimat tersebut. “Thanks, La…!” katanya tanpa membalas jawaban yang sama.
Pelukan itu adalah pelukan pertama yang Dito rasakan dengan seorang lelaki. Tak bisa dipungkiri ada keteduhan, kehangatan dan rasa aman yang lebih yang dia rasakan dalam pelukan itu. Rasa yang memang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak usia 6 tahun, Dito sudah ditinggal papanya. Kedua orang tuanya bercerai. Dan sejak itu dia hidup bersama mama dan dua adik perempuannya. Mamanya tidak menikah lagi.
Beberapa saat kemudian, Dito melepas pelukan Mandala, pun Mandala. Sambil menepuk lengan Dito, Mandala berkata,”Yok, kuat kuat dan kuat, ok?” penuh motivasi. Dibalas Dito dengan senyuman penuh tanpa kata. Kemudian dia berjongkok dan mengambil buku diary Remi. Tanyanya,”Akan diapakan diary ini? Dibakar?”….”Jangan, kita simpan saja. Itu salah satu kenangan dari sobat kita,”balas Mandala. “Ok, kalo gitu boleh gw yang pegang?” pintanya. “Lebih baik.” Jawab Mandala.
*
Pukul tiga sore waktu itu. Kedua lelaki telanjang itu masih berada di atas ranjang, hanya bertutup selimut sepinggang. Berpelukan. Tampak Mox memainkan dada Sun yang berbaring disampingnya dengan jari telunjuknya. Sementara Sun membelai rambut hitam Mox dengan sesekali mencium keningnya. “My Sunshine…” ucapnya. Sun masih diam. “My Sunshine…” ucapnya lebih keras. “Kenapa sayang?” tanya Sun. “Sejak kapan kamu sayang ama aku?” tanyanya tiba-tiba. Sejenak Sun malas menjawab, baginya untuk mengingat-ingat adalah hal yang cukup melelahkan disaat ini karena energinya sudah banyak terbuang saat bercinta tadi. “Ehm..kapan ya?” Jawabnya dengan pertanyaan. “Ehm, sejak lihat kamu waktu registrasi semester dua,” katanya pasti. “Oya?” Balas Mox senang. “Kenapa kamu suka aku?” tanyanya manja ingin tau. “Karena kamu sexy,” jawab Sun singkat. “Sexy mana kalo dibandingkan ama Dito…” tanya Mox. “Tetap sexy kamu lah,” balas Sun yang penuh keterkejutan atas pertanyaan Mox yang tiba-tiba membandingkan itu. “Eit, dah jam tiga neh…gw ada kuliah sesi Pak Dickmanto neh…”ujarnya sambil menuju ke kamar mandi dengan hanya menutupi selangkangan dengan kanannya. Sementara Mox masih berbaring dan hanya menatap kekasihnya itu yang berkulit sedikit kuning kecoklatan tapi bersih menuju ke kamar mandi.
Dito dan Mandala memang beda jurusan. Mandala mengambil jurusan informatika, sama dengan Sun. Sedangkan Dito mengambil jurusan ekonomi managemen. Diambilnya jurusan itu dikarenakan keinginannya agar cepat selesai dan lekas mendapat pekerjaan untuk membantu mamanya dan kedua adik perempuannya yang masih SMU.
Dito kembali ke kamarnya, dengan sedikit gemetar dibukanya lagi diary Remi tersebut. Pada lembar pertama terpampang foto Remi saat masih kecil, yang difoto bugil dengan posisi tengkurap. Tertulis disitu: it’s me, a little cute Remie.
Dibukanya halaman yang belum habis dibacanya kembali, Dito sangat mengenali tulisan itu, tulisan kenangan dari Remie. Tulisan yang sama persis yang ada dibeberapa buku catatan kuliah Dito saat malas menyalin dan meminta Remi untuk membantunya.
….ku jatuh cinta kepada temanku yang ternyata berjenis kelamin sama denganku. Mengapa diary? Mohon engkau dapat membantu menjawabnya.. Perasaan ini begitu menyiksa hatiku, kemarin…saat ini…atau mungkin untuk selamanya? Jika dapat kuputar kembali detik detik waktu ke saat itu dan aku dapat memilih, mungkin aku tidak
akan pernah memilih untuk makan di kantin itu. Tapi tidak mungkin kan, diary…
Diary, disaat ini aku mengharapkan setidaknya orang yang kukasihi dapat bersamaku walaupun untuk satu jam saja ataupun cukup satu menit saja. Ah, biarlah...aku sadar akan harapanku yang sekedar harapan…Tak akan pernah ada sayang itu untukku karena memang tidak mungkin bagiku untuk bersamanya.
Biarlah kubingkai rasa sayang ini hanya dalam hatiku. Dia ada yang punya dan ajarkan aku bahagia seperti kebahagiaan yang dia rasakan sekarang bersama Angel. Semoga suatu saat dia mengerti bahwa aku sayang padanya…dan kunikmati malam ini hanya berdua denganmu, diary-ku. Terima kasih kamu lebih menyayangiku daripada orang yang kusayang. Muach…Happy Valentine.
Setelah kata terakhir dibacakannya, Dito terisak. Dicengkramnya diary yang masih dalam keadaan terbuka. Air matanya kembali menetes ke lembar diary itu. Terkejut, pedih, perih, sakit dan sejuta rasa berkecambuk di dalam hatinya pada saat itu.
“Wei…sakit apa lo?” tanya Sun seketika setelah tiba di kamar bernuansa biru itu. “Ya neh, kata dokter seh gejala tipes,” jawabnya sambil membenarkan posisi untuk duduk di ranjang itu. “Makanya jaga kesehatan coi…” Sun menasehati. “Iya neh. Jadi gak bisa kemana-mana. Gak bisa kuliah juga” katanya “Eh, gimana hari ini? Sapa korban Pak Dick,”tanyanya. “Gak ada, hari ini aman.”jawab Sun. “Kok sepi seh, pada kemana?” tanyanya. “Mau se-rame apa? Lo wong kita cuman bertiga disini, gw, mas Isgi dan mbak Nah. Mas Isgi baru nganterin Mandala balik, barusan ajah dia pulang.” Jelas Ronny. “Oh,”balas Sun mengetahui. Ada rasa sedikit kecewa akan jawaban dari Ronny. Sebenarnya Sun cukup mengagumi Mas Isgi, orangnya baik, ramah dan ganteng lagi. Sekilas wajahnya mirip dengan Tommy Tjokro, pembaca berita Metro TV itu. “Gimana, dah baikan?” tanyanya kemudian. “Udah sih, tapi masih gak bole maem yang pedes-pedes, berminyak, gitu deh,” papar Ronny sedih. “Ya udah, ditahan ajah, biar cepet sembuh,”lanjut Sun.
Minggu, 1 April 2007
Dear Diary, hari ini ada cerita lucu yang ingin kuceritakan padamu. Cerita yang bikin aku ketawa hingga sekarang. Hari ini ulang tahun Sun. Tau gak apa yang teman-teman hadiahin buat dia? Celana dalam G-String! Anak-anak pada maksa dia pakai loh. Tega ya. Tau ga, kalo Dito ama Mandala ampe tarik-tarik celana dia. Pokonya wajah Sun dah pucat pasi karena mau dibugilin. Tega ya. Truz, tau gak, setelah tiup lilin, eh Sun dilempari ama tepung, shampoo, kecap sampai telor busuk. Pokonya seru sekali. Kasihan juga ama Sun, ulang tahun seharusnya dapet kado eh ini malah dikerjain habis-habisan ama anak-anak. Jahat yah. Hahaha. Moga ulang tahunku nanti aku gak seperti itu ya..Doain ya diary…
Dito tersenyum setelah membaca itu, masih teringat jelas apa yang terjadi pada tanggal 1 april itu. Sun benar-benar dikerjain habis-habisan dan saat ulang tahun Dito, dia pun hampir mendapatkan perlakuan yang sama, yang saat itu malah dihadiahin sebuah Dildo. Dasar anak-anak. Namun itu semua masih menjadi kenangan yang terindah untuk diingat.
Dito kembali membalikan halaman diary-nya. Sedikit dia terkejut, karena pada halaman lainnya, terselip dua buah foto hasil print out computer. Yang membuat terkejut adalah kedua foto itu adalah lelaki bule telanjang dengan pose yang menunjukan alat vitalnya yang sudah berdiri. Sejenak Dito melihat salah satu foto yang berisi model dengan wajah sedikit mirip Gerard Butler. Kedua tangan model itu memegang ujung kursi sementara kedua kakinya mengangkang memamerkan alat vitalnya.
Dari jam 8 pagi dia sudah stanbay dikampus ini.
Perkuliahan siang ini cukup membosankan apalagi dia kurang tidur tadi malam karena menunggu mandala yang pulang kemalaman, membaca diari remi serta dihantui oleh mimpi-mimpi buruk masa lalu yang hampir tiap malam menghantuinya yang membuatnya kurang fit.
Namun hal itu sedikit terhibur dengan celotehan manja catrine.
Dito mengemas buku-bukunya kedalam ransel saat perkuliah usai.
"habis ini mau kemana dito?" tanya catrine dengan nada manja. Cewek ini memang terkesan betul mengejar-ngejar dito. Sebenarnya ada rasa suka dito kepada catrine namun sejak kepergian angel dan remi, dito seolah-olah menutup hatinya untuk wanita mana pun yang mencoba mendekatinya pada saat ini.
Padahal catrine itu tidak jelek wajahnya. Malahan banyak teman dito yang berusaha merebut hati catrine namun semua tidak ada yang berhasil. diterimanya.
"gue mau ketoko buku bentar trus pulang" ujar dito sambil menutup resleting tasnya dengan asal.
"gue temanin yah" mohon catrine.
"ngak usah deh cat, lagian gue cuma bentar ditoko bukunya karena setelah itu ada janji ama teman kos" sambil menyandang ranselnya dipundak kiri.
"Ngak papa kok walau cuma sebentar" pinta catrine sambil mengikuti dito berdiri.
"kapan-kapan deh cat. Gue janji oke" ujar dito sambil melangkah kepintu kelas.
pikiran dito melayang kembali kemasa lalu saat melintasi bibir jalan yang kebetulan sepi.
Tak disangkanya langkahnya sudah terlalu ketengah dari pinggir jalan.
"duk.. Aduh" hantaman yang cukup keras mengenai tubuhnya. Ransel yang di panggulnya dipundak sebelah kanan terlempar.
Salah satunya seorang pria bermata biru berkulit putih dengan dengan badan tegap namun sedikit terkesan kurus. Wajahnya terkesan terlalu manis untuk sosok seorang pria namun terlalu jantan untuk seorang gadis.
"emang loe ada kuliah sekarang revo" tanya edo kepada pemuda tersebut.
"iya nih..Mana dosennya kiler lagi"ujar remi sambil matanya mencari-cari sesuatu dikolong bangku diteras kamar tersebut.
"cari apa loe? Pandangan edo ikut mengarah ke arah tujuan mata revo.
"nah ini dia..Sepatu gue yang sebelah" seulas senyum tergambar dibibir merah revo yang jarang terkena nikotin rokok.
"eh sori nih gue buru-buru nih, ntar gue ngak boleh masuk ama mr killer kalo telat lebih dari 10 menit" saat ia selesai menyikat tali sepatunya. Dengan cepat revo menyambar tas ransel yang terletak dibangku kayu samping edo.
Tak berapa lama revo telah berada dijalanan bersama motor kesayangannya.
Walaupun sudah sedikit tua, motor itu telah menemaninya dikota ini.
Dia sedikit memacu lari motornya karena takut ketinggalan.
karena kurang fokus dia agak kepinggir mengendarai motornya. Tiba-tiba
"dug.." stang motornya sebelah kiri menyambar seorang pemuda yang berjalan agak ketengah.
Pemuda tersebut terlempar, ranselnya yang disandangnya terbuka karena dia kurang rapi menutupnya.
Buku dan benda-benda yang ada didalam ransel tersebut berceceran kemana-mana.
Revo memarkirkan motornya dan berjalan mendekati pemuda tersebut.
"kamu ngak papa?" tanya revo saat melihat pemuda tersebut tertegun memegang buku berwarna biru waktu dia mengumpulkan barang-barangnya kedalam ransel.
Pemuda itu menoleh kearah revo pandangannya seolah kosong menatap kearahnya
"remi.." pemuda itu berujar.
"siapa mas..? Anda baik-baik saja?" revo ikut membantu mengumpulkan benda-benda pemuda itu, sambil tetap memperhatikan pemuda tersebut.
"oh...Ah..Eh...ngak papa kok cuma kakiku agak sakit" kembali terlihat kesadaran dimata pemuda tersebut.
"coba saya lihat" tanpa menunggu persetujuan dari pemuda tersebut revo menyingkapkan kaki pemuda tersebut.
"wah agak bengkak nih kayaknya harus diurut..Atau dibawa kerumah sakit aja. Saya antar "pemuda itu terlihat meringis saat tangan revo menyentuh bagian yang bengkak tersebut.
"ngak usah kerumah sakit cari tukang pijit aja bisa mas" pemuda itu berusaha berdiri langsung dibantu revo.
"biar saya tolong pijit mas kalo tidak keberatan, karena dulu saya waktu dikampung pernah belajar sama ayah saya cara mijit?"pemuda itu sejenak terdiam.
"kalo setuju kita ketempat kosku aja mas deket sini" mata revo memandang kepada pemuda tersebut menunggu jawaban.
Tak berapa lama mereka sudah berada dikamar revo.
"saya lupa minta maaf mas tadi tuh ngak sengaja nabrak mas" ujar revo sambil mengambil minyak gosok untuk urut.
"ah..Ngak papa, bukan sepenuhnya kesalahan kamu" sambil mencoba duduk dikursi yang ada pojok kamar itu.
"Lagian jangan panggil mas dong, karena kita kayaknya seumuran gue dito" tangannya terulur kepada revo.
"revo..Duduk dikasur aja mas.. Eh..Maksud saya dito biar saya mudah mijitnya" revo menyambut uluran tangan tersebut.
"celananya di buka aja mas biar ngak kotor ini ada sarung sebagai gantinya" revo meletakkan sarung dipinggiran tempat tidur.
Dengan santai dito membuka celananya didepan revo tanpa membalikan badannya. Mata revo terpana melihat pemandangan didepannya. Kaki itu begitu putih dengan ditumbuhi bulu-bulu yang tidak terlalu banyak.Nafas revo tertahan saat matanya mencuri-curi lihat pada Tonjolan ditengah selangka yang terlihat besar dibalik celana kolor putih.Pemandangan itu menghilang saat dito memakai sarung.
"bisa kita mulai sekarang"ujar dito sambil merebahkan tubuhnya dikasur.
"oh ..Ya ya kita mulai saja tolong sarungnya diang dikit" revo mulai mengoleskan minyak gosok ketangannya.
"aduh...Du..Duh..Pelan dikit rev sakit nih" wajah dito meringis menahan sakit.
"tahan dikit dito masak cowok ngak bisa nahan, kalo ngak kapan sembuhnya? Sambil revo menambahkan minyak urut ke tangannya.
"oh ya gue mau tanya nih dito tadi tuh waktu gue nolongin loe ngumpulin barang-barang loe dijalan kok elo manggil gue remi. Siapa tuh remi?" pembicaraan mereka mulai mengalir seperti dua orang yang telah lama kenal.
"oh itu.." dito terdiam sesaat matanya memandang teduh kedalam bola mata revo yang teduh seolah memikirkan sesuatu.
"terus terang waktu gue lihat lo tadi gue kaget sekali rev, karena loe sangat mirip sekali dengan seseorang sahabat gue dari masa lalu gue" mata dito masih memandang wajah revo yang tampak keheranan.
"Maksud loe dito?" selidik revo.
"yah semuanya rev... Semua yang ada ditubuh loe mirip dengannya" pandangan dito menerang, disitu terlihat kesedihan yang mendalam.
"trus dimana dia sekarang?" kejar revo
"dia sudah meninggal 6 bulan lalu" duka itu semakin jelas tergambar diwajah dito.