It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Selamat pagi bro
Terima kasih atas semua masukan untuk perbaikan cerita ini. Aku berusaha menulis sesuai dengan semua masukan dan nuansa alam muaro tebo - muaro tembesi akan selalu menyertai perasaan para pembaca budiman.
Jika ada waktu libur aku harap para pembaca bisa mengunjungi kampung kami. Kita bisa berperahu menyusuri sungai sambil menikmati buah-buahan sederhana di kampung kami. Dari sini sudah tidak begitu jauh ke gunung kerinci
satu lagi nanda kan yg bukan anak kandung papa ridwan tp kok nisa dia bilang bukan anaknya. soalnya itu yg gw tangkep dari part sebelumnya
Saat mual di perut sudah menghilang, rasa kantuk membawaku bersama perjalanan menuju Muaro Tebo. Angin sepoi-sepoi masuk dari kaca jendela mobil papa Ridwan. Jalanan yang berliku dan penuh dengan irama daun pohon sawit sepanjang jalan, membuatku makin mengantuk. Saat itu masih terdengar samar-samar suara tante bang Sudi, suara papa Ridwan, dan suara abang garin mushola ...
Ingatanku pulih dalam sebuah kamar yang putih, bantal putih, dan selimut juga putih. Pada tangan kiriku terpasang slang infus.
Sakit apa aku ya Allah ?
Aku tidak pernah berharap orang jadi sibuk oleh kondisiku.
Pembicaraan serius terdengar di telingaku :
"siapa itu etek ? Aku sangka si bandit itu sendiri ! kiranya dibantu begundal pasar" suara papa Ridwan agak keras
"iyalah anak kecil takut dipaksa dan dikejar begitu" kata tante bang Sudi
"kepengen masuk penjara ke dua kali dia tu om" sekarang abang garin mushola jadi lebih jelas dan paham mengapa aku sampai menginap di mushola
"kau nih Wan mau saja ngasih-ngasih uang terus ! lapor lah sama polisi ! percuma saja punya banyak anak buah kau nih" sebuah suara asing di telingaku. Aku konsentrasi pada arah suara itu dan dapat kulihat ibu-ibu berbaju praktek. Dialah dokter yang menolongku
"etek sih baru cerita sekarang ! coba cerita tadi malam, sudah ku ringkus itu bandit" kegusaran dari papa Ridwan
"mamak si Rusli nih sayang nian sama adik asli bandit tuh, mengalah terus !!!!" gerutu abang garin moshola
"tidak bisa begitu zaman sekarang. Sayang tidak beralasan bisa kiamat dunia" seru ibu dokter itu dengan idealis tersendiri
Semua terdiam
"aku tidak membela siapa-siapa ya Wan ! tapi berdasarkan laporan guru disekolah, anak kecil ini sungguh diperlakukan tidak adil oleh dua anak tiri kau tu. Mana hati nurani kau ? siapa tu bini kau pembual ! anak ini yang harus kau bela ! Lupa kau sama budi baik almarhum Masur?" Ibu dokter ini membuka matahatiku
Matahati yang selalu bertanya terhadap banyak cerita Bapak-papa Ridwan dengan teman-temannya. Bukan kebetulan pak guru matematika membelaku dari walikelas cs
"tapi syukurlah, dengan meninggalnya Masur, mata kau terbuka. Aku tutup kuping saja terhadap banyak konflik yang diciptakan anak tiri kau tu. Benar-benar merusak citra seorang dokter ! Menyesal aku Wan kasih rekomendasi untuk dia bisa PTT di sana !"
"makasih Tuti aku akan lebih kuat dari yang mereka kira" kata papa Ridwan
"iya seperti itu ! perasaanku bisa kau buktikan bahwa anak ini tidak akan aman tinggal disana" keterangan lanjutan dari ibu dokter itu
Mengapa Ibu dokter itu bisa berkata seperti ini ? Aku sebenarnya tidak takut sama pak etek pemabuk itu. Hanya sungkan sama mamak jika harus melawan adik beliau. Aku ingat pesan Bapak pada daerah-daerah yang berbahaya, mudah-mudahan do'a Bapak selalu melindungi hidupku. Yang benarnya itu papa Ridwan harus bisa tegas, mampu berkata tidak sama tukang palak.
"tidak segitunya Tuti, aku lebih tahu cara mendidik Rusli" jawab papa Ridwan
"betul sekali ! Kawin dengan janda beranak dua, dapat anak satu tapi itu hamil sama orang lain. Itu yang kau didik ! hasilnya NOL. Tidak usahlah kau ingat si Mansur, ingat saja anak kecil, baru kematian bapak, tidak berdaya, umat muslim wajib membantu ! apa kau tidak malu kalau aku yang merawat Rusli !" rasanya papa Ridwan mati kutu oleh wejangan ibu dokter ini
"ya sudah Tuti, jangan buka aib orang ! aku mulai hal yang baru" kata papa Ridwan
" Tidak ada malu-malu untuk orang seperti itu. Selama si perusak citra dokter itu masih di halaman rumah kau, masalah akan ada terus. Suruh saja dia ke balai tengah" perintah ibu dokter itu
"tunggulah Tuti, hanya dua tahun saja dia PTT, kurang manusiawi juga kata orang" jawab papa Ridwan secara diplomatis
"benar ya dua tahun, awas kau" kata ibu dokter itu
"Assalamu'alaikum ibu dokter. Aku sakit apa ?" suaraku serak untuk menghentikan adu mulut yang makin panas itu
"Kamu kurang sumber energi Rusli dan beban perasaan kamu tanggung sendiri. Anak-anak jarang sakit maag seperti ini Rusli" mata ibu dokter itu mulai berkaca-kaca
"aku nungu perahu Ibu dokter, tidak kunjung datang, aku jalan ke jembatan gantung" kataku dengan jujur
"perahu itu kan milik Bapak kamu" tanya ibu dokter itu yang sekarang air matanya sudah mulai jatuh
"aku tidak boleh naik perahu itu sama pak etek" jawabku
"aku sudah kasih uang sama dia ! kamu masih tidak boleh naik perahu" kata papa Ridwan sambil memegang kepala karena panik
"tuh kan ! mana pula anak kecil tidak akan sakit, bandit dipelihara dalam rumah" Ibu dokter itu sudah kehabisan kata-kata dalam gejolak rasa kesal.
"Rusli, setiap ada kejadian laporlah sama om Ridwan atau abang, jangan dipendam sendiri seperti ini" saran abang garin mushola itu
"Ya sudahlah Wan, aku tunggu aksi kau ! jangan salahkan aku, jika sekolah itu porak-poranda" kata ibu dokter itu.
Papa Ridwan dan abang garin mushola itu tahu diri, sebelum ibu dokter ini tambah emosi mereka cepat-cepat keluar.
Tinggalah aku berdua dengan ibu dokter itu.
"Rusli, bapak kamu itu teman baik ketika kami SD, SMP, dan SMA dulu. Kami dari dusun dekat sekolah kamu itulah" kata ibu dokter itu
"jadi mamak yang orang dusun Tebing Seberang" tanyaku
"iya begitu" jawab ibu dokter itu
"ibu dokter, mengapa jembatan gantung tidak dibangun di depan tebing seberang ? susah kami untuk hidup bu" kataku dari hati yang terdalam
"selama ini kamu kesekolah seperti apa ?" tanya ibu dokter
"sebelum bapak meninggal, aku diantar jemput bapak pakai perahu. Setelah bapak meninggal aku harus memutar ke jembatan gantung dusun ilir. Aku biasa berangkat subuh" kataku
"jauh sekali nak ! itu tidak manusiawi sekali" aku tidak bermaksud membuat ibu dokter itu menangis lagi
"bu dokter, hanya sampai tebing aku bisa jalan. Untuk menuju sekolah aku tidak boleh lewat jalan di depan rumah dokter Nisa. Makanya bila Ibu ada waktu mohon minta tolong ke pemerintah buat kelola dusun terpencil" aku lega berucap harapan anak dari dusun terpencil untuk sekedar menikmati pembangunan negara.
"iya Rusli, hatimu sungguh mulia. Ibu akan fikirkan jalan keluarnya. Nanti ibu telpon pak Rahman ya. Beliau masih ngajar matematika kamu ?" ibu dokter itu segera menyeka air matanya yang jatuh berurai dan mengajariku untuk bangkit dari keterpurukan.
"kelas VIII dulu pak Rahman selalu membelaku dari walikelas dan dokter itu" kataku
"mereka berdua itu temanan Rusli, yang penting sekarang dia bukan lagi walikelas kamu kan ?" tanya ibu dokter itu lagi
"betul ibu, sudah tidak beliau lagi" jawabku
"syukurlah" kata ibu dokter itu
"bu dokter, mengapa kak Nisa begitu benci sama aku ? aku tidak pernah jahat sama keluarga mereka" tanyaku dari sadar hati yang dalam
"semua orang tahu Rus, kamu itu lah yang disayang Ridwan dan Bapakmu. Mungkin kamu sudah tahu kereka semua itu bukan anak Ridwan" kata ibu dokter
"iya Ibu dokter. Mamak yang ngasih tahuku setelah bapak meninggal" kataku
"menurut yang ibu dengar dari guru-guru, si Nisa itu dan mamanya ketakutan kehilangan harta jika kamu tumbuh besar" keterangan dari ibu dokter
"aku tidak mengerti harta-harta itu ibu, lagi pula itu harta papa mereka, bapak tidak pernah ngajar aku jadi perampok. Mengapa mereka menganggap aku serendah itu bu ?" kali ini aku tidak kuasa menahan tangis dizalimi orang
"kalau Rusli menangis, ibu juga akan menangis lagi ! jadi hapus air matamu nak" kata ibu dokter itu
Kalau Allah sayang sama aku, baiknya Allah manggil aku sekarang menghadap keharibaanNya. Kak Nisa, Nanda, mamanya, teman-teman berada di sekolahku adalah contoh orang kaya yang kalau mereka mengaku muslim harus berzakat sediiiikkiiiit saja sama orang miskin. Janganlah menganggap orang miskin akan mengambil harta mereka. Jadi menurut hati nuraniku, jika orang miskin tidak mengganggu kita, untuk apa juga membuat susah orang miskin itu.
Namun inilah sandiwara kehidupan. Kepala sama hitam tetapi pemikiran orang berbeda-beda. Dalam linang air mata, aku lupakan sejenak kemelut ini. Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk disayang Bapak dan papa Ridwan.
Sampai dimana permainan hati mereka, aku masih akan menyaksikan dengan kekuatan yang tersisa.
Hari kedua di rumah sakit Muaro Tebo ini aku mendengar perundingan sahabat yaitu papa Ridwan, Ibu dokter, dan pak guru matematika :
"si Rusli tidak boleh jalan di depan rumah kau ! apa jabatan si Nisa itu ? duuh kalau aku sudah ku remas-remas tuh mulutnya. Tidak tahu hukum ! seenak perutnya" geram sekali ibu dokter itu
"Nurutku sebelum kau kasih sesuatu untuk si dokter itu dia akan terus memusuhi Rusli. Kasihkanlah rumah itu sama dia ! biar Rusli tenang dan kau juga tenang bekerja" saran pak guru matematika
"aiii tidak bisa itu, dibangunya rumah besar, ditutupnya jalan ! kemana lagi anak-anak jalan nuju sekolah ?" keterangan Ibu dokter, papa Ridwan dan pak guru matematika mengangguk
"susah nian sama si Nisa berhati batu ini" kata pak guru matematika
"kasih uang, hijau tuh matanya !!!!!!!! mata duitan, semua kembali pada uang" seru ibu dokter
Papa Ridwan terdiam
Hari ke-tiga aku sudah diperbolehkan pulang. Mamak sampai hati, tega tidak melihatku yang sakit. Kenapa mamak jadi berubah sejak kehadiran adiknya yang bandit itu ?
Apa mamak begitu sayang sama adiknya ? atau mamak diancam sama si bandit itu ?
Aku mengikuti saran papa Ridwan dan pak guru matematika untuk sementara berdiam di mushola bersama abang garin mushola itu. Yang penting tidak terlambat makan.
Tubuhku kembali membaik dan sudah bisa istirahat dengan baik.
Pada kesempatan bertemu dengan keponakan makcik Karim, aku minta tolong diantar kesekolah
"aku hari senin hingga Rabu saja dari dusun Rus" kata dia
"oh malam Jum'at lalu aku tunggu dan abang iya tidak muncul" kataku
"iya kalau malam yang lain aku nginap di Muaro Tebo Rus" kata dia lagi
"baiklah bang, lumayan 3 hari ditolong abang. aku takut sakit lagi bang, repot semua orang" jawabku ynag sebenarnya bukan itu alasannya, tapi takut diusir kak Nisa jika lewat di depan rumahnya.
Lancar dan aman. Keponakan makcik Karim ini telah diterangkan oleh abang garin mushola ini untuk bersikap santai saja sama dokter cantik itu jangan masuk hati. jadi kami selonong saja ga lihat-lihat wajah dokter ini. Halhal dia kecapekan teriak-teriak mirip orang gila, semoga jadi gila benaran kalau dia diusir oleh papa Ridwan.
Hari Jumat itu hari yang santai bagi pekerja namun hari yang berat bagiku harus jalan subuh dan menunggu janji dengan wulan di pinggir tebing sehingga bisa jalan bareng ke sekolah dengan teman lainnya seperti Sari dan Taufik.
Sudah menghadang dua orang laki-laki di jalan
"mana yang bernama Rusli ? katanya dia sakit ! mau diobati sama dokter Nisa" kata mereka
"Rusli sudah sembuh ! suruh saja Dokter itu berobat" jawab Wulan
"kenapa dokter disuruh berobat ?" tanya orang itu heran
"karena dokter itu sakit ! giliran Rusli minta pertolongan dia tidak mau menolong, dokter seperti apa itu" Keterangan dari Wulan
"berani kamu ya menghina aku ?" si dokter berlarian dari ruang prakteknya siap untuk meremas-remas mulut kami
"aiii si Wulan ini, kamu juga Sari, larilah cepat ! minta tolong" kataku
"Hajar dia ! Sudah lama aku mau lihat ini, tapi bukan dari tanganku" seringai dokter itu merasa menang
Plak .... keningku kena tampar laki-laki suruhan itu
aku terjerembab ke tanah
"Rusli...... kau lah besar mukul temanku yang masih kecil ! kurang ajar kau ! dapat lawan sama besar kau nanti !" taufik memaki laki-laki suruhan itu dan berusaha membantu aku berdiri
Malang bagi Taufik diapun kena tampar Plak .....
Taufik tersungkur
Setelah itu dihadapan mereka berdirilah Ibu dokter teman guru matematika kami itu yang menemani beliau dalam deru nafas Wulan dan temannya
"Hebat kalian ya memukul anak didik kami ?" hinaan dari pak guru matematika kemudian beliau menelpon seseorang
"dia yang memancing emosi bilang dokter itu sakit" kata mereka
"iya sakit ! Rusli sudah sembuh mau diobati, pas Rusli sakit dia tidak menolong, dasar sakit" kata Wulan
"maaf bu dokter, tuh dengar dia bilang saya sakit" kata dokter cantik itu dengan lidah lembut gigi tak bertulang
"memang kau sakit ! berurusan kita sama polisi ya ! manalah jiwa belas asih seorang dokter" kali ini ibu dokter itu sampai pada kesimpulannya, beliau menolong Taufik berdiri
Tak lama setelah itu datang papa Ridwan
"tuh orang yang kita tunggu datang" kata pak guru matematika
Papa Ridwan mendudukan aku pada batu di tepi jalan. Ada area merah di kening dan wajahku demikian juga dengan Taufik. Papa Ridwan memotonya dengan kamera HP yang dia punya, beres.
Ibu dokter dan guru matematika kami menggiring kak Nisa dan dua orang laki-laki suruhan itu ke kota. Selamat mempertanggung jawaban perbuatanmu !
Taufik dijemput oleh orang tuanya
Aku dibawa papa Ridwan dan Wulan ke dalam rumah
"apa yang sakit nak ? kita ke rumah sakit ya?" tanya papa Ridwan
"tidak usah pa, tidak apa-apa kok" kataku yang air mata ini terus berlinang
"mengapalah ya Om dia benci sekali sama Rusli ? kami sering disuruhnya mengepel lantai sekolah" kata Wulan yang juga menangis melihat wajahku
"tidak apa Wulan, karena kita orang miskin bisa disuruh-suruh, bisa ditampar" jawabku seadanya, lirih, dan pedih. Jika mereka membayangkan wajah mereka yang ditampar orang ?
Beberapa hari kemudian papa Ridwan dan teman-temannya menyarankan mamak dan adiknya pindah ke rumah dekat sekolahku itu. Aku tidak begitu jelas urusan dokter Nisa apa diurus secara hukum atau ikatan profesi yang menata sikapnya,
yang pasti dia sudah tidak pernah muncul lagi di rumah itu.
Tempat prakteknya sepi sekali.
Itu adalah strategi yang baik, biar pak etek leluasa memainkan kehendaknya di rumah yang bagus. Dengan cara itu, aku terhindar dari pak etek. Papa Ridwan dengan jelas berkata pada mamak bahwa aku dilarang untuk serumah dengan pak etek. Terlihat sudah, mamak benar-benar ingin menolong adiknya. Aku mengambil yang positif saja. Tidak ada orang lain yang mau membimbing pak etek. Mamak tentu ada alasan sendiri, sejauh yang ku tangkap agar aku belajar mandiri, tapi aku masih belum mengerti apa maksud mamak. Mungkin suatu hari aku tahu jawabnya.
Aku menjaga rumah penggalan bapak yang semakin reot saja, sejak pak etek tinggal beberapa bulan berlalu. Aku dibantu oleh abang garin mushola memaku papan yang lepas-lepas. Lumayanlah, tinggal sampah yang berserakan harus disapu.
Waktu berjalan seperti biasa, tiga hari aku minta tolong sama keponakan makcik Karim, dan 3 hari yang lain aku jalan ke arah jemabatan gantung ilir menuju dan pulang sekolah. Jam 6.00 pagi biasanya aku sudah menapaki dan berjalan di atas jembatan gantung ilir ini. Jika tidak turun hujan, Sinar temaram matahari menerpa wajahku.
Lega sekali rasanya berada di jembatan gantung ini, udara yang segar pagi hari, dan perasaan optimis karena setengah perjalanan sudah tertempuh, tinggal setengah perjalanan lagi tiba di sekolah.
Jika aku bisa bekerja dan mengumpulkan uang, maka aku akan beli perahu dan mesin tempelnya. Tentu dengan perasaan bahagia aku akan melihat jembatan gantung ini dari atas perahu.
Lamunanku buyar ketika adik kelas yaitu siswa kelas VIII menyapaku
"bang Rusli, kita bareng ke sekolah ya" ajak mereka
Aku menyambut ajakan mereka dengan senyum
"ayo.. abang malah sudah olah raga jalan dari tebing seberang" jawabku
Perjalanan menyusuri tebing pinggir sungai ini tidak akan pernah kulupakan. Hari cerah ataupun gerimis, semua begitu berkesan. ILalang dan rumput teki yang ku jumpai sepanjang jalan seolah memberi salam, Rusli kita bertemu lagi pagi ini, apa kabar kamu.
Sampai suatu hari aku terdengar kabar pak etek ditangkap polisi lagi karena otak dari perjudian yang dilakukannya. Berhasil sekali strategi papa Ridwan dan teman-temannya. kalau di dusun tebing seberang ini, seolah kegiatan mereka terlindungi oleh batas sungai dan tebing.
Di rumah yang baru itu, akses dia lancar ke luar, demikian juga akses masarakat yang memantau juga lancar. Hidup ini tidak lepas dari sebab dan akibat. Setelah itu mamak kembali tinggal dan menemani diriku di rumah bapak.
Pada suatu jam istirahat pertama, aku sedang membantu ibu guru geografi untuk membuat peta sederhana dari jalan utama hingga menuju sekolah. Semua ini akan kami letakkan di pinggir jalan. Sehingga masyarakat bisa melihat dan terbantu dalam menuju sekolah kami. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang tamu :
Berdasarkan informasi dari ibu georafi setengah berbisik, beliau itu bapak kandung dokter Nisa. Aku segera mohon diri, rasa kesemutan di telapak kakiku mendengar nama dokter Nisa.
Aku menuju kelas dan mencoba konsentrasi pada pelajaran setelah ini.
Biarlah itu menjadi urusan dokter Nisa dan bapak kandungnya. Kalau saja papa Ridwan dan Bapak sedikit memberi alasan mengapa papa Ridwan menikahi janda beranak dua itu. Apa mungkin papa Ridwan kecewa karena Bapak meninggalkan papa Ridwan dan kawin dengan mamakku. Tapi zaman dahulu mana ada cinta-cintan begitu. Kalaupun ada rasa, pasti ditelan sendiri. Tidak seperti zaman sekarang !
Waktu jam pulang aku sengaja singgah ke rumah papa Ridwan itu sekedar minta minum atau ada masakan apa siang ini.
Rumah itu sepi dan kosong
Papa Ridwan kemana ya ?
"ayolah Rus ! rumah kosong rumah hantu nih ! ayo kita balik ke tebing seberang" ajak Wulan
"iya Wulan, tidak ada di rumah, mungkin pergi ke pasar" kataku
Sampai di pinggir sungai, ada teriakan :
"Rusli.....Rusli...... ayo kesini, kita arungi lagi sungai kita" ajak dia
Dia adalah karawan papa Ridwan yang dulu mengemudikan perahu ini sebelum pak etek datang
"iyaaaa bang .... setidaknya sampai pak etek keluar dari penjara, kita bisa merasakan lagi angin sepoi-sepoi di atas perahu" jawabku
"let's go mang ...... goyang" kata Wulan
"goyang" kata abang itu dan perahu kami melaju perahu laju
Rasanya sudah bertahun-tahun tidak melihat tangga yang memeluk tebing menuju dusunku, indaaahhh sekaliiiii
Aku rasa sekarang ada arwah bapak di dalam perahu ini. Bapak terseyum bahagia bisa menikmati arus sungai ini.
"jangan goyang-goyang betul Wulan ! etek takut tercebur dalam sungai" kata seorang tetangga pada Wulan, heheheh
Setelah mereka sampai di tepi sungai aku sengaja suruh abang ini tidak mengemudi dulu, padahal para penumpang baru sudah naik lagi menuju tebing rumah papa Ridwan. Aku ingin pastikan iring-iringan itu naik tangga ......
masih seperti dulu, indah dan menenangkan jiwa tampak Wulan dan Ibu-ibu dari kejauhan saat perahu kami kembali melaju menuju tengah sungai .....
Dua hari kemudian, yaitu hari Minggu, setelah menolong mamak membersihkan kebon singkong, papa Ridwan mengajak aku ke suatu tempat.
Hingga di depan rumahnya, papa Ridwan turun dan menuju mobilnya. Perjalanan ini mengarah ke Muaro Tembesi. Sejuk dimata. Rute yang berbelok-belok, dipagari oleh pohon kelapa sawit, ada perumahan penduduk, ada kalangan yang sepi karena bukan hari balai istilahnya, ada juga kalangan yang ramai karena pas hari balainya hari Minggu, namanya kalangan Minggu.
"pa kita kemana ?" tanyaku
"ke Kota Jambi" jawab papa
"ke tempat bang Jasri ya pa ?" tanyaku lagi
"kok ketempat Jasri ? kamu............" candaan papa
"siapa tahu saja papa kangen bang Jasri" kataku
"lumayan" jawab papa Ridwan
"pa.... hari Jumat, ada bapak-bapak mencari dokter Nisa, kata ibu guru itu bapak kandung dokter Nisa" keterangan dariku
"oh kamu berarti dah lihat siapa bapak kandung dia" kata papa Ridwan
"iya pa" jawabku
"paling minta uang" kata papa Ridwan
aku merenungi jawaban papa Ridwan ini. Diantara penduduk yang ku kenal, yang paling berat beban fikirannya adalah papa Ridwan ! tidak hanay bisnis yang diurusnya, recokan dari kiri kanan orang yang ga berkepentingan begitu banyak, semua berhubungan dengan uang !
"Pa... tuh air sungainya dah hampir menegnai jalan !" kataku mengalihkan fikiran papa agar sedikir rilex di hari minggu yang benar harus rilex
"oh iya ya... berarti hujan semalam di hulu ini Rus" kata papa
"ini air dari Pusar Liek ya pa ?" tanyaku
"betul rus" jawabnya
"suatu hari ada buaya yang hanyut sampai kesini" tanyaku
"bukan hanyut lagi, tapi memakan ternak warga sini" keterangan dari papa
"ohhhhh" aku terkesima
"kalau musim banyak air" kata papa
"iya pa" kataku
Menjelang kota muaro Tembesi, ada sebuah jembatan yang sangat panjang............
Mobil sengaja dilambatkan papa
"Rus... aku dan Bapak pernah berperahu sampai sini loh nak" kata Papa Ridwan
"ngapain papa dua-duan sama Bapak berperahu" sergahku
"ya ngapa-ngapain, mau tahu saja kamu" jawab bapak
aku terdiam ..... iri sekali ! zaman baheulak saja mereka begitu memiliki momen berharga, sedangkan aku cowok saja tidak punya.
"Lebih lebar ya pa ! tapi kok sepertinya deras pa ?" tanyaku
"betul kamu Rus ! karena setelah ini ada turunan ! seolah air jadi kencang lajunya" kata papa
"apa istimewanya pa" tanyaku
"kita ga bisa berperahu lagi, bahaya ! tapi ikan disini Rus, banyak dan beragam, karena airnya lancar jadi makanan untuk mereka tersebar rata" kata papa
"ikan juga lebih cepat tumbuh di air yang mengalir, seperti kata pelajaran pertanian yang diajarkan" jawabku
"oh gitu ya ? kurang tahu papa tuh" jawab papa
"Pa maaf ya, siapa yang lebih kaya, papa atau bapakku ?" tanyaku
"Naah itu Rus, papa mau ngajak kamu kesana, ke rumahku, masih ada nenek kau sudah tua, tapi masih rajin baca alquran" kata papa
"waahhhhhhh di kota Jambi pa ?" ketakjubanku
"iya Rus, di tepi sungai Batang Hari, lebih besar dari ini Rus" jawab papa, ingin rasanya cepat sampai dan melihat alamnya
"pa... maaf, mengapa papa suka sama Bapak ?" tanyaku hati-hati .... papa Ridwan berfikir keras mencari jawaban yang pas untuk anak SMP
"karena bapakkau cakep" kata papa Ridwan
"cakep ? aku kok tidak cakep ???" tanyaku lebih dalam
"kamu cakep kok Rus ! asal tidak banyak berjemur. Sudah SMA kau pasti bisa jaga penampilan dan berubah terlihat cakep" saran papa Ridwan
"Iya pa" kataku
"Pa.... aku tidak melihat papa bahagia berumah tangga, tapi mengapa papa mau mengorbankan diri ? lihat hingga hari ini papa masih menanggung penderitaan. Sekali lagi maaf ya pa, karena aku juga terseret !" secara lambat aku ingin dapat penjelasan dari Papa Ridwan yang sudah sejak lama untuk menjawab rasa penasaran
"Nenek nanti yang berceriya ya Rus .... biarlah begitu ! sehingga papa ga dikira membela diri" alasan papa dari sanubarinya yang dalam.
Kedua orang tuaku yang tidak beruntung. Aku bangga sama mereka berdua, namuuunn ...
Aku harus berfikir ulang untuk mencari cowok, dapat cowok yang baikpun, belum tentu bisa bersatu !
Perahu kita melaju lebih ke tengah bro :
bro @3ll0 , bro @Tsunami , bro @balaka , bro @d_cetya , bro @Wita , bro @lulu_75 , bro @Hato , bro @Monster_Swifties , bro @hyujin , bro @dafaZartin