It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku berdiri di dalam kamar mandi dengan beberapa obat di tanganku. Obat itu aku buang ke dalam wc lalu menyiramnya dengan air. Membuang obat di tempat sampah beresiko ketahuan.
Aku menghela nafas.
Tadi aku kontrol. Di rumah sakit aku harus menjalani beberapa terapi untuk memulihkan ingatanku. Dokter itu bilang, aku bisa sembuh tergantung dari kondisiku sendiri dan dari kemauanku. Masalahnya cuma satu, aku ini nggak amnesia. Aku ingat semuanya. Jadi terapi yang diberikan tadi itu sia-sia. Begitu juga dengan obat-obatan yang baru aku buang tadi.
"Lama banget sih Gy," Liam sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Beol," sahutku.
Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
"Mas Eggy!!!" Yenny menghampiriku, "minggu depan jalan-jalan yuk!"
"Kemana?"
"Ke mall? Kemana aja deh yang mas suka."
...
Aku bukan tipe orang yang suka jalan-jalan sih, jadi...
"Kemana ya...kamu ada ide?"
Yenny menggeleng.
"Ya udah di rumah aja. Kan enak bisa nonton TV sama papa mama."
Aku mengelus-elus kepalanya.
Dia nampak senang.
"Ya udah aku balik kamar dulu."
"Mas...mas Eggy nggak bosen ya di kamar terus? Kalau bosen mas bisa ajak aku pergi kok."
Aku tersenyum.
"Makasih ya. Tapi aku nggak bosen kok."
Lebih nyaman kalau aku sendirian di dalam kamar. Nggak perlu pura-pura jadi Eggy. Berpura-pura itu melelahkan. Apalagi aku nggak tau bagaimana sosok Eggy yang asli.
"Lagian aku harus belajar buat besok. Ada tes."
Nah ini, aku nggak mau menghadapi yang satu ini. Besok ada tes akutansi. Mau nggak mau aku harus belajar ulang dari awal. Padahal kerjaku mencakup itu, tapi nggak sama persis deh. Cuma pendapatan dan pengeluaran. Itu pun sudah dikemas rapi jadi aku tinggal menyalin di komputer. Kalau dipikir-pikir hebat juga aku dulu bisa lulus SMA.
Kamar Eggy yang dulunya rapi kini jadi sedikit berantakan. Maafkan aku yang suka hidup berantakan. Cuma ada dua macam orang didunia ini. Yang satu orang dengan gaya hidup teratur dan satunya lagi dengan gaya hidup berantakan. Jelas dengan bangga aku mengumumkan kalau aku termasuk orang dengan gaya hidup berantakan.
Aku membuka jendela kamarku. Menyalakan laptop dan membuka buku. Setelah memutar musik aku mencoba fokus dengan bukuku. Rokok yang aku beli kemarin lusa masih ada. Membeli rokok dengan tubuh Eggy ini resikonya besar. Karena di rumah ini yang merokok hanya papa. Itupun papa nggak beli di toko samping rumah.
Di laptop Eggy bersih. Nggak ada apapun yang bisa aku jadikan petunjuk. Bukannya aku mau mencampuri urusan pribadi orang, tapi aku juga ikut terlibat disini. Setidaknya aku mau tau apa yang terjadi sampai Eggy berniat bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke mobilku. Apa ada hal yang membuatnya malu?
Malu ya?
Kemungkinan itu Indra dan genk nya. Tapi kalau cuma kelakuan jahil Indra, si Eggy nggak mungkin bunuh diri kan?! Atau Indra sudah melakukan yang lebih parah lagi?
Aku meletakkan pensilku. Menatap keluar jendela. Jalanan hari ini ramai. Mungkin di jalan raya sana ada pemeriksaan polisi. Setahuku sejak dulu jalanan ini jadi salah satu jalan tikus buat pengendara motor yang nakal. Waktu aku SMA dulu, aku juga sering lewat sini.
Klutuk...wer...wer...wer...wer...
Pensilku jatuh ke kolong meja.
Aku mematikan rokokku sebelum berjongkok untuk mengambilnya.
"Hmm???"
Mataku terpaku pada sesuatu yang tertempel di bawah tempat tidur. Aku merabanya. Membuka perekatnya.
"Buku??"
Emm...
Ada lagi.
Aku kembali meraba bawah tempat tidur. Dua buku lagi aku temukan.
~ whoami pov ~
judulq aneh ya? aq sndr heran knp aq payah dlm mencari judul hahaha...biasax judul aq tulis berdasarkan apa yg aq pikirin pertama kali. akhirx judul critaq bnyk yg aneh n g nyambung.
Ini buku harian? Punya Eggy? Jadi dia suka nulis buku harian? Rasanya seperti cewek ya. Padahal cowok. Apa anak zaman sekarang masih menulis beginian?
Dengan duduk bersandar di tempat dudukku, aku mulai membuka salah satu buku itu.
'Hr ni aq mkn bsr. Mas liam ultah. Happy b'day mas. Smoga panjang umur dan sehat selalu. Doaq slalu besertamu.'
'Pr numpuk. blm ada yg aq kerjain.'
'Hp rusak di lempar Liam brengsek. Aq trpasa beli hp br pake uang simpanan. Dia tw aq sk cwo. Dia bk2 hpq g izin. Pdhl d hpq ada fotoq sma pcr.'
'Liam mukul aq. Dia ngatain aq bgitu buruk. Mulutx emng rusak. Prlu msk bengkel. Klo aq bsa milih, jelas aq milih bsa ska ama cwe. Tp aq g bsa.'
Aduh mataku perih. Banyak singkatan. Bikin sakit mata. Aku nggak terbiasa baca sesuatu yang banyak singkatannya. Aku juga suka nyingkat pesan sih tapi kalau baca sendiri rasanya malas.
'Pita main k rmh. Dia bw bnyk mknan. Liam jd sok pengertian. Caper d dpn cwe.'
'Indra ngerjain aq lagi. Dia sembunyiin spatuq. Dia cwo brengsek. Aq pngn njeburin dia k got.'
'Mw tw apa yg trjd hr ni? Yup...Owi ngjk jln. Slama ni yg bsa ngrti aq cm my Honey Bunny Sweety. Dia ksh aq kalung. Ktx dia cnta mati sma aq hahaaiii....'
Owi...apa dia ini pacar cowoknya Eggy?
'Owi mengirimiku sms lucu. Dia blng dia kngn aq pdhl br ktemu. Tp aq jg kngn bngt sma dia. Rasax g mw pisah. Setiap detik dan setiap saat aq pasti mikirin dia. Dia g bsa hilang dari otakq. Mngkin klo otakq d bka isinya nama Owi semua hahaha.'
'Mama mencoba masak soto. Ga enak.'
Beberapa lembar setelahnya hanyalah curhatan sehari-hari.
Aku melipat ujung kertas terakhir yang aku baca untuk memberi tanda sebelum menutupnya. Aku membuka-buka buku yang lain. Ada salah satu foto yang terjatuh.
Ini Eggy...dan...pacarnya?
Dua cowok nampak bahagia di dalam foto. Eggy menggendong belakang seorang cowok. Cowok itu memeluk leher Eggy. Dia tersenyum lebar. Cowok manis yang memiliki tindikan di lidahnya. Dia memamerkannya dengan menjulurkan lidah. Aku membalik foto itu. Tertulis nama kedua anak itu dan tanggal ambil fotonya. Setahun yang lalu.
"Waktu kelas sepuluh ya..."
Aku jadi tertarik untuk mencari foto lainnya. Dan ternyata ada beberapa foto yang tertempel di buku itu. Kali ini foto makan kue berdua. Mereka hampir mirip seperti orang ciuman. Masih dengan cowok yang sama, Owi. Ada satu foto lagi yang terjatuh saat aku membuka-buka buku harian itu. Foto yang sedikit rusak. Mungkin di remas. Foto pemakaman. Aku membalikkan foto itu lagi.
'Perasaanku kini memang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hatiku telah terluka begitu dalam. Hingga aku tak tahu dimana dasar luka ini. Air mata yang membasahi luka. Meninggalkan perih yang tak terkata. Kau meninggalkan janji. Menghilang bagai tersapu ombak badai. Perih yang kurasa akan terus mengikuti langkahku. Kau harus tahu cintaku ikut pergi bersamamu. Kau harus tahu cintaku ikut terkubur bersamamu. Tak ada jalan bagiku. Tak ada yang tersisa. Semuanya kini lenyap. Usai sudah.'
...
...
...
Aku seperti di bawa arus badai. Bukan!! Aku nggak bernaksud jadi puitis. Maksudku...saat ini aku bingung harus bagaimana. Owi meninggal? Cowoknya meninggal? Kenapa? Kecelakaan? Sakit? Kenapa??
Aku bingung. Perasaanku jadi tidak menentu. Aneh. Aku ikut sedih. Apa ini hanya rasa simpatiku atau karena aku ada di tubuh Eggy...
Rasanya aneh.
Dadaku sakit.
Mataku panas.
Ada kesedihan yang aku rasakan begitu dalam. Kesedihan yang nggak bisa aku jelaskan. Kesedihan yang muncul dengan sendirinya. Perlahan tapi pasti.
Catatan terakhir Eggy. Hanya ada 'aku...' sisanya hanyalah coretan yang tak bisa dibaca. Tapi dari lusuhnya kertas itu dan banyaknya noda disana aku tahu kalau Eggy menangis saat menulisnya. Dia pasti meremas foto itu.
Apa yang dirasakan anak itu? Apa begitu menyakitkan? Pasti seperti itu. Saat ayah meninggal aku juga merasakan hal yang sama. Kesedihan yang mengerikan. Sakit yang tidak bisa diungkapkan.
Bruugghh...
Aku mencampakkan kepalaku di atas meja. Kertas hasil tesku baru di kumpulkan.
Percuma...percuma...kacau...gagal total. Dari awal saja aku sudah salah menghitung.
Sial...
Ternyata memang mustahil aku kembali ke zaman SMA dan mengulang semua pelajaran. Kalau aku pintar sih nggak ada masalah. Tapi aku tahu sampai mana batasku. Batasku ada dibawah rata-rata. Ini pembunuhan. Pembantaian. Ini penyiksaan.
"Aaaarrrggghhh...."
Rasa putus asa apa ini? Aku sudah lama tidak merasakannya. 10 tahun? 15 tahun? Hahaha 20 tahun yang lalu mungkin.
Sial.
"Hahahaha...nggak usah kesal gitu. Kalau nilaimu jelek kan bisa di ulang."
Aaaahh...Pita...kamu dewi penyemangatku.
"Masalahnya aku nggak yakin bisa ngerjain waktu perbaikan," desisku.
"Ahahahaha...gitu ya. Kemarin nggak belajar?"
"Belajar sih tapi..." aku terlalu asyik membaca buku harian Eggy sampai lupa belajar, "aaaaahhh...nggak tau lah."
Aku mendengar suara tawa Pita.
"Aku seneng lo kamu jadi lebih bersemangat dari biasanya."
"Huh??"
"Nggak...nggak apa-apa."
Ctaaakk...
Tukk...tukkk...
Ada yang melempariku dengan kacang.
"Dra!!!" Pita membuka suaranya, "nggak usah usil."
"Apaaaa...??? Sekarang kamu jadi pengawalnya???"
"Tingkahmu itu lama-lama bikin eneg tau nggak?!"
"Nggak tau tuh."
Aku melihat Indra dengan malas. Anak itu...perlu aku ajarin sopan santun.
Anak-anak di kelas ini nggak semuanya cuek sama Eggy tapi mereka juga nggak akrab. Ternyata Eggy memang nggak punya teman dekat. Hanya sebatas teman di kelas.
...
Verry menatapku sekilas.
Oh benar juga. Seharian ini aku sama sekali nggak ngobrol sama dia. Aku nggak tau apa yang ada dipikirannya sekarang.
Aku harap dia percaya kalau aku ini omnya. Tapi gimana caranya biar dia percaya ya? Aku sudah nggak bisa mikir. Otakku buntu. Kalau buntu gini aku jadi pengen ngerokok. Tapi di sekolah nggak boleh ngerokok. Larangan dari mana sih? Aku jadi pengen ketemu sama orangnya.
Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Anak-anak langsung berhamburan pulang. Seperti lebah yang melihat madu. Aku masih membereskan buku-bukuku. Memasukkannya dalam tas.
"Hei!!"
...
Anak itu mendekatiku.
"Nggak langsung pulang kan?"
...
...
"Nggak sih. Kenapa?"
Verry nampak ragu. Tapi dia masih berdiri di depanku.
Apa dia mau membahas tentang itu?
"Omku baik-baik saja. Dia dalam keadaan baik-baik saja biarpun dia belum sadar. Jadi...aku nggak bisa percaya sama kata-katamu."
"..."
"..."
"..."
"..."
"Ooo....gituu..." kataku pelan.
"Dia sudah di rawat di rumah. Dengan suster yang merawatnya. Setiap hari ada yang menggerakkan tubuhnya supaya nggak kaku. Alat-alat untuk memantau kondisinya juga masih terpasang."
Keluargaku pasti habis uang banyak untuk itu. Aku harap kalau aku bisa kembali ke tubuhku secepatnya.
"Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah."
Verry melemparkan pandangannya ke arah lain. Tangan kanannya menekan-nekan leher belakangnya. Kebiasaanya waktu sedang kebingungan atau penasaran sama sesuatu.
Anak ini...jangan-jangan dia sudah percaya kalau aku ini omnya tapi masih nggak mau ngakuin?
"Aku nggak tau kamu tau semua rahasiaku darimana. Tapi kalau bisa jangan mencari info tentang aku lagi. Kamu itu...nakutin."
Aku tersenyum. Menopang dagu sambil terus menatapnya.
"Hoooo....."
Verry kembali menatapku.
Aku masih tersenyum.
"Ya udah...aku cuma mau ngomong itu."
"Aku masih berharap kamu percaya sama aku. Kalau ada yang bisa aku buktiin ke kamu...."
"Nama...ku...waktu kecil. Nama panggilan....cuma om ku yang manggil aku dengan nama panggilan itu."
...
Aku kembali tersenyum.
"Kodok..." desisku.
Verry masih menatapku.
"Ternyata aku memang nggak bisa percaya omonganmu."
Aku tergelak.
"Hahahahaha...."
Aku mengacak-acak rambutnya sebelum beranjak pergi. Verry mengikutiku.
Hei...apa aku sudah bilang kalau keponakanku ini bisa sangat imut? Dia selalu menampilkan sisi itu cuma di didepanku dan keluarganya.
Dengan begini...aku sudah selangkah lebih maju.
~ whoami pov ~
makasih yg dah baca...
"Terus....kenapa kamu ngikutin aku sampai sini??"
"Mau gimana lagi, banyak yang mau aku tanyain sama kamu," Verry turun dari motornya, "jadi ini rumahmu??"
"Bukan rumahku tapi rumahnya Eggy."
"Iya-iya aku percaya kok."
Anak itu bingung mencari sesuatu.
"Ketuk aja," kataku sambil mengetuk.
Tak lama setelah itu pintu rumah ini terbuka. Liam yang membukanya.
Wajahnya langsung berubah dingin saat dia melihat Verry.
Ah...aku hampir lupa, Liam kan sudah tau kalau Eggy suka cowok. Jangan-jangan dia ngira kalau Verry ini...
"Dia temenku mas," kataku sebelum Liam mulai mengoceh yang memancing emosi.
Aku takut aja kalau dia sampai marah seperti yang ditulis Eggy di buku hariannya. Kalau di lihat dari tulisan Eggy, si Liam ini kalau marah nakutin.
"Oohh..." Liam masih menatap Verry.
"Boleh kami masuk?" tanyaku nggak sabar.
Sampai kapan dia mau menahan kami di luar?
Liam memberi ruang untuk masuk.
Nah kan dia memang nakutin. Masa Liam mengikuti kami sampai di kamar.
"Kenapa mas? Mas Liam mau ngomong sesuatu?" tanyaku.
"Nggak. Aku ambilin minum dulu."
"Nggak usah mas. Aku cuma sebentar kok," kali ini Verry membuka mulutnya, "nggak usah repot-repot."
Aku menutup kamarku setelah Liam pergi.
"Kakak mu?"
"Kakaknya Eggy."
"Iya-iya..."
Verry nampak melihat-lihat isi kamar.
"Jadi...gimana oma? Ibu baik-baik aja?" aku meletakkan tasku di atas meja.
Verry menatapku. Dia menatapku lekat-lekat.
"Apa benar kamu ini..."
"Mau bukti seperti apa lagi supaya kamu percaya?"
Anak itu terdiam. Dia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.
"Aku nggak bilang kalau aku percaya sama kamu kan?!"
"Terus ngapain kamu disini?"
Kalau nggak percaya mending nggak usah ngikutin aku.
"Aku cuma...mau tau apa yang terjadi. Bisa kamu ceritain?"
"..."
"Oma sangat terpukul. Mamaku juga nggak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya."
"Aku nggak bisa cerita banyak hal."
Aku memilih duduk di kursi.
Yang aku tahupun akhirnya aku ceritakan ke Verry. Dia mendengarkan dengan seksama sesekali menghela nafas. Kini dia merebahkan tubuhnya di kasur dengan bantal yang menutupi sebagian wajahnya.
"Gila...kayak sinetron. Cerita yang nggak masuk akal."
"Aku juga nggak percaya. Sampai saat ini aku nggak bisa percaya dan nggak mau percaya."
"Apa kamu sudah nyoba untuk kembali ke tubuh aslimu?"
"Caranya?"
"Mungkin om bisa ke tempat kejadian itu lagi. Siapa tahu..."
"Aku belum ke sana lagi sih."
Banyak yang terjadi. Aku sampai lupa hal penting. Biasanya di drama atau sinetron hal pertama yang di lakukan adalah datang ke tempat kejadian perkara.
"Kamu nggak mau lihat kondisi tubuhmu?"
"Memangnya kamu pikir aku berani?"
Verry terdiam.
Nggak gampang. Aku nggak siap. Mentalku nggak siap. Setelah aku lihat tubuh asliku lalu apa? Memangnya itu bisa membuatku kembali? Bagus kalau bisa, kalau nggak bisa? Aku nggak yakin bisa mengontrol diriku lagi. Belum lagi wajah ibuku. Aku nggak tahan kalau melihat wajah ibuku yang sedih. Nggak...nggak...nggak...nggak. Aku nggak mau kesana. Nggak mau.
"Sekarang aku mau tau sosok Eggy. Kamu temen sekelasnya kan. Gimana dia? Seperti apa orangnya?"
Verry menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya lalu duduk menatapku.
"Eggy itu orangnya pendiam. Nggak banyak omong. Auranya suram."
"Masa? Apa banyak perubahan sosok Eggy yang asli dengan sosoknya yang sekarang?"
"Banyak. Ya banyak laah..."
Sial...sampai segitunya.
"Apa dia jadi korban bullying di sekolah?"
"Indra maksudmu? Dia itu gimana ya..."
Jangan-jangan Indra benci sama Eggy karena Eggy suka sama cowok Homophobia?
"Kamu juga nggak suka sama Eggy kan?!"
Verry menatapku tajam.
"Karena kamu pernah ngetewain aku dulu."
"Haaaahhh???"
Kini wajahnya gelagapan.
"Maksudku...Eggy yang ngetawain aku," kata Verry pelan hampir tak terdengar, "gara-gara dia nggak sengaja liat aku di mall saat aku bingung mau milih boneka yang mana. Senyumnya bikin menusuk."
...
...
Haaaa....pasti wajah Verry saat itu bersinar dengan mata berbinar-binar. Belum lagi senyumnya yang menjijikkan itu.
"Makanya aku nggak suka sama dia. Titik."
"Hehehe..."
DEG
Pintu kamarku terbuka. Liam datang membawa minuman. Harusnya kamarnya tadi aku kunci.
"Aku buat teh manis."
"Verry udah mau pulang kok."
Dia tadi denger omongan kami nggak ya?
Verry menatapku bingung.
"Oh...ya udah nggak apa-apa. Diminum dulu aja."
Aku menelan ludah. Ternyata Liam memang nakutin ya. Tapi kalau di pikir-pikir tingkahnya masih wajar sih. Dia seorang kakak kan? Tau adiknya homo kan? Dia pasti khawatir.
Verry langsung meminum teh itu lalu berpamitan pulang.
"Ngobrolin apa aja tadi?"
Aku menelan ludah.
"Masalah pelajaran kok. Dia bantuin aku karena sudah seminggu aku nggak masuk sekolah. Aku ketinggalan banyak pelajaran."
Liam menatapku. Tatapannya benar-benar menelanjangiku. Aku nggak suka ditatap seperti itu. Menyebalkan. Sialan. Anak kurang ajar.
Aku menghela nafas sebelum tersenyum.
"Ada apa sih mas?"
Seperti tersadar, Liam langsung keluar dari kamar setelah mengambil gelas kosong Verry tadi.
~ Whoami Pov ~
makasih udah bacaaaaa... ^^
"Dianter?" Verry menghampiri mejaku, "aku liat masnya Eggy tadi."
Anak-anak yang sudah datang nampak melihat kearah kami.
"Ya," sahutku.
Pagi tadi Liam memaksaku untuk mau di antar jemput lagi. Aku nggak tau kenapa, tapi kayaknya kedatangan Verry kerumah itu membuatnya khawatir.
Tanpa basa-basi Verry duduk di kursi Pita.
"Ngapain duduk sini?" tanyaku.
Bukannya dia sudah pindah tempat duduk? Kalau nggak salah dia disuruh pindah sama guru cewek itu. Bu Susi kalau nggak salah namanya.
"Karena aku pengen duduk sini lagi. Aku udah bbm Pita kok."
"Kenapa? Kangen sama om mu yang cakep ini?"
Verry memandangku jijik.
"Apaan ekspresimu itu?!" tanganku terulur ke wajahnya dan memberinya remasan di sana.
Verry mencoba melepaskan tanganku.
Aku terkekeh melihat tingkahnya.
"Kamu itu...nggak tau apa kalau wajahku ini aset negara."
"Hahaha...darimananya?"
Verry terdiam saat sadar kalau kami jadi pusat perhatian.
Mungkin memang benar kalau Eggy anak yang pendiam. Tapi kalau melihat fotonya yang selalu tertawa...itu...
Pacarnya itu pasti orang yang sangat dia cintaikan? Buktinya Eggy tersenyum dan tertawa lebar saat bersamanya. Kesan pendiamnya hilang. Yang aku lihat adalah seorang cowok yang mudah tertawa dan begitu bersemangat.
"Kamu kenal pacarnya Eggy nggak?" tanyaku dengan suara pelan.
Verry menatapku. Lalu dia melihat Indra.
"Kenal sih enggak. Tapi Indra pernah nempelin foto Eggy sama cowok di papan tulis."
"Gila," spontan aku ikut melihat Indra, "foto apa??"
Dapat darimana si Indra itu?
"Kissing."
...
...
"Huuuhh????!!!"
"Jujur aku nggak ada masalah serius sama Eggy. Makanya aku betah-betah aja duduk sama dia. Biarpun tau dia homo juga nggak terlalu ngefek buatku. Yang penting dia nggak bikin masalah sama aku. Beres," kata Verry sambil mengeluarkan hpnya, "aku nggak suka dia karena dia pernah ngetawain aku dan dia juga sudah buat om ku masuk rumah sakit."
Aku menatap Verry penuh haru.
"Sini aku peluuuukk...."
"Nggak mau. Nggak usah macem-macem! Nanti ada gossip aneh tentang aku sama kamu."
Aku terkekeh.
"Oh iya Ver....aku mau minta tolong."
"Apaan??"
"Ambilin ATMku. Ada di dompet yang selalu aku bawa. Aku nggak bisa mengandalkan uang saku yang sedikit. Kebutuhanku banyak."
"Nanti yang kamu beli jadi milik Eggy lo."
"Aku juga tau. Emangnya om'mu ini bego?!"
***
"Kemana tasku???" itulah pertanyaan yang aku lontarkan saat melihat tas ku hilang secara misterius.
Padahal hanya aku tinggal ke toilet sebentar sebelum jam istirahat selesai.
Anak-anak yang ada dikelas hanya melihatku. Ada yang berbisik-bisik. Mataku menangkap satu orang cewek yang sedang menunjuk Indra diam-diam.
Anak itu lagi? Dia cekikikan dengan teman-temannya.
Tanpa pikir panjang aku mendekatinya.
"Mana tasku?" tanyaku tanpa basa-basi.
Indra melihatku malas.
"Emangnya aku ini tempat penitipan tas??"
"Nggak ada orang lain yang ngusilin aku selain kamu di kelas ini. Jadi mana tasku?" aku menatap dingin anak itu.
Kelakuannya sudah keterlaluan. Dia pasti penyebab utama Eggy memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri.
"Masa? Pede banget kamu nuduh aku. Buktinya mana???"
Aku menghela nafas.
Sabaaar....sabaaaaarrrrr....saaaabbaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrr!!!!
Dia ini cuma anak SMA yang suka cari gara-gara. Dikiranya keren apa setelah ngerjain orang lain? Dia mau pamer gitu kalau dia orang yang nakutin?
Aku kembali menghela nafas panjang.
"Kalau kamu ada masalah sama aku mendingan kamu langsung ngomong."
"Udah...udah...nggak usah ribut!!" Tomas, salah satu kawannya berdiri sambil merentangkan tangan di antara aku dan Indra, "lagian Gy, kamu nggak usah nuduh sembarangan dong. Buktinya mana kalau Indra yang nyembunyiin tasmu?"
Aku kembali menghela nafas.
Apa anak zaman sekarang norak-norak gini ya? Perasaan zamanku dulu nggak kayak gini deh.
"Tas!" kataku sambil menyodorkan tanganku ke Indra.
Anak itu menatapku tajam.
"Gy!!"
Aku menoleh kesumber suara.
Verry menenteng tasku.
"Dikelas sebelah," katanya sambil menyodorkan tasku itu padaku.
"Ada pasangan baru nih," aku melirik Indra yang mengoceh tak jelas.
Teman-temannya tertawa.
Apanya yang lucu? Mereka gila atau apa?
"Kamu itu..." aku masih menatap Indra kesal, "ngerjain aku terus. Sampai nempel fotoku dipapan tulis. Jangan-jangan kamu itu cemburu? Kamu suka sama ya aku? Mau cari perhatian??"
Indra langsung menatapku.
Ekspresi wajahnya berubah.
...
Eh??
...
Wajahnya memerah sebelum mencaci makiku.
...
Huh???
...
Huuhhhh???
...
Suara tawa teman-temannya seperti angin lalu saat itu. Tarikan Verry di lenganku tak bisa membuatku berhenti melihat ekspresi wajahnya.
Tapi akhirnya aku pergi. Kembali ke tempat dudukku.
Tanganku membungkam bibirku. Mataku masih mengawasi Indra yang kini juga sudah duduk di tempatnya. Tapi wajahnya masih terbayang. Ekspresi syock. Kaget. Ekspresi yang bercampur aduk.
...
Masa sih?
...
Yang benar?
Verry mengomel. Entah apa itu. Pokoknya dia mengomel.
Apa itu tadi?
Aku nggak salah lihat kan?
Yang benar saja...
Dia itu...
Bego ya???
"Om!! Kok diem aja sih?"
"Huh...?? Oh...ngomong apa tadi kamu?"
"Si Indra nggak usah dipikir. Kelakuannya emang kayak gitu."
"Oohh...iya."
Tapi...jadi kepikiran kan...
~ Whoami pov ~
aq g liat avatar sih...jd g tw hehehe...
Nggak bisa...aku nggak kuat. Sakit. Kakiku sakit. Pahaku juga. Keringatku terkuras banyak. Aku bisa dehidrasi.
Verry menyodorkan air dingin padaku.
"Beneran kamu ini om ku? Lari keliling lapangan aja sudah kembang kempis kayak mau mati."
"Haaa...haaa...salahkan tubuh ini yang nggak terlatih. Haaa...haaaa....gi...la haaaa...anak ini nggak pernah olah raga ya??"
Aku dan Verry memilih duduk di sisi lapangan. Melihat kelompok dua berlari. Di kelasku di bagi menjadi dua kelompok saat olah raga.
"Eggy sih memang nggak bisa olah raga. Sejak dulu. Fisiknya lemah. Sering masuk UKS. Sering nggak masuk sekolah."
Dan aku pakai tubuh ini untuk merokok. Kalau kedepannya dia kena kanker gimana ya?
Glek...glekk...gleeekk...
Segaaaaaarrr....
"ATMku mana?" tanyaku setelah ingat sesuatu yang paling penting.
"Sorry aku nggak tau dimana dompetmu. Mungkin di simpan oma."
Jelas. Harusnya aku bisa menduganya. Sial.
"Oma...apa dia baik-baik saja?"
"Masih sama."
"Jaga dia ya. Oma nanti sakit kalau banyak pikiran."
Aku ingin menemuinya, dan bilang kalau anaknya baik-baik aja. Tapi itu jelas nggak mungkin.
"Kamu ini...serius om ku kan???"
"Haaahhh???" aku langsung menatap kesal Verry.
Anak ini. Setelah semua ini dia masih saja...
"Sorry...maksudku... Iya...aku susah percaya. Aneh gitu lo. Tau sendiri kan? Tapi aku juga ingin percaya kamu om ku karena kamu tau semua yang omku ketahui."
"Karena aku om mu."
"Iya sih. Cuma..."
Aku menyodorkan air itu padanya dan dia langsung menerimanya.
"Gini...kalau kamu nggak percaya atau susah percaya, ya itu terserah kamu. Aku nggak mau memaksamu untuk percaya sama aku."
"Bukannya gitu sih...cuma..."
Aku menghela nafas.
"Jangankan kamu Ver, aku aja masih nggak percaya aku di tubuh ini. Masuk ke SMA. Sekelas sama kamu dan ikut olah raga yang menyesatkan ini."
Kapan ya terakhir aku olah raga?
"Aku...percaya kok."
Aku mengacak-acak rambut Verry.
"Iiihhh...berkeringat. Berminyaaaaaaakk...!!!"
Tanganku jadi lengket. Akhirnya aku mengusap-ngusapnya di kaos Verry.
"Namanya juga baru lari-lari."
Mataku terpaku pada Indra yang tengah berlari.
Setelah kejadian itu? Dia nggak pernah ngusilin aku.
Masa sih dia beneran suka sama aku, maksudku sama Eggy?
~ whoami pov ~
nah...di pic itu gmn? siapa mereka?? hahaha...
Itu pic indra x eggy?