BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Qanun Jinayah di Syah kan di Aceh

17891113

Comments

  • picky wrote:
    arasso wrote:
    Lagian nekat sih..udah jelas agama yg diperbolehkan cuma lima kok ini pengen nambahin agama baru siih...wkwkwkwkwk....
    Btw, nama agamanya keren juga tuh. Itu beneran namanya gitu atau karangan saudara lu aja sih? :lol:
    Itulah maksud aku. Yg salah itu sistem represifnya. Ga bs islam yg disalahkan. Kalau argumen nya kayak gitu,ya sekalian aja salahkan 5 agama yanga ada:islam,katolik,protestan,hindu,buddha..
    Saudaranya dianidiani itu kan karena tidak diperbolehkan menuliskan kejawen (misalnya) kan bs aja nulis kristen,atau buddha,atau hindu,atau islam. Tapi kenapa cuma islam yg disalahkan? Nah logikanya kan dah ga benar tuh.

    wah gak gaul nih, makanya baca berita, bagaimana tindak tanduk partai2 dan ormas2 Islam menggerus aliran kepercayaan (agama2 lokal)

    ketika suatu bangsa menjadi sangat homogen, biasanya attitude-nya akan lebih susah untuk menerima perbedaan

    ini tercermin dari perilaku dan tindak tanduk partai2 dan ormas2 Islam dalam menggerus aliran kepercayaan (agama2 lokal)

    kalo aliran kepercayaan aja udah jadi masalah, makin kecil kemungkinannya seseorang dengan orientasi seksual yang berbeda untuk diterima dimasyarakat
    Ih please deh darling. Loe kali yg ga gaul. Ga liat berita hari ini ya tentang aliran kristen apa gitu yg jadi masalah di manado? Td malam ada di metro tv. Jadi yg begini2 ini memang ada di semua agama! Ga bs loe tebang pilih dan nyalahkan islam doang. Gw komenin kamu krn kamu judgement nya ga fair dan menjelek2kan satu agama tertentu aja.
  • dianidiani wrote:
    ,dari mana loe dapat definisi tentang agama lokal? Sepengetahuan gwga ngerti yg loe maksudkan dgn agama penjajah,kan agama yang (dulu) namanya agama yg diakui pemerintah ada 5,dan loe nuding itu semua agama penjajah? Lagian sekarang kayaknya gada lg istilah agama resmi pemerintah. Kan orang2 bebas mw milih agama apa aja,bahkan untuk ktp pun sbenarnya terserah dia mw bikin agama apa,atau bahkan nulis aliran kepercayaan doang jg bs kok!
    Gak begitu. Sepupunya kakek gue dua tahun yang lalu mau memperpanjang KTP nya , dan di kolom agama dia ingin menggantinya dengan kejawen, karena dia selama ini memang lebih percaya kepada kejawen. tapi menurut aparat gak bisa karena :
    1. Di KTP yg dulu tercantum islam
    2. Di KTP hanya diakui 5 agama
    sepupu kakek gue itu insist dia mencantumkan islam di KTP karena memang dulu tidak boleh mencantumkan kejawen sebagai agama, tapi lama-kelamaan dia merasa bahwa itu gak jujur karena mencantumkan islam padahal dia gak pernah menjalankannya. ternyata gak bisa diganti.

    @ Charming:
    Gue baca ulang emang ternyata si dian gak nyalahin islam kok. Tuh dia nyalahinnya aparat ( mungkin maksudnya pegawai kelurahan itu kali ya? )
    Sebaiknya kalau lu emangs emangat untuk nyalah2in orang, lebih teliti dulu bacanya.
    Darling,udah gw klarifikasi bhw gw ga nyalahin diani,karena postingan gw itu dalam konteks komentar si picky. Mudah2an udah jelas.
  • Ih please deh darling. Loe kali yg ga gaul. Ga liat berita hari ini ya tentang aliran kristen apa gitu yg jadi masalah di manado? Td malam ada di metro tv. Jadi yg begini2 ini memang ada di semua agama! Ga bs loe tebang pilih dan nyalahkan islam doang. Gw komenin kamu krn kamu judgement nya ga fair dan menjelek2kan satu agama tertentu aja.

    hi hi hi hi mungkin hurufnya kurang besar kali yee

    http://www.photius.com/countries/indonesia/government/indonesia_government_peoples_consultativ~30.html
    Indonesia People's Consultative Assembly (MPR)

    The highest constitutional body is the People's Consultative Assembly (MPR), which meets every five years in the year following the elections to the parliament--the House of People's Representatives (DPR). The MPR has 1,000 seats, 500 of which are assigned to the members of the DPR. Of the other 500 seats, 100 are reserved for representatives of professional groups, including ABRI, appointed by the president and, as of 1992, 147 seats were held by delegates elected by provincial-level legislative assemblies. The balance of seats--253 in 1992--were assigned after the 1987 DPR elections on a proportional basis to representatives of the political parties, depending on their respective membership in the DPR. Golkar took the largest number of these seats based on its 1987 winning of 299 of the 400 elected DPR seats. This election resulted in a total of 540 Golkar seats in the MPR, an absolute majority even without counting the ABRI faction and the provincial-level representatives. The Muslim-based PPP only had sixty-one DPR seats and ninety-three MPR seats, whereas the PDI, with its forty DPR seats, was at the bottom of the MPR list (see Political Parties , this ch.).

    The principal legislative task of the MPR is to approve the Broad Outlines of State Policy, a document that theoretically establishes policy guidelines for the next five years. The draft is prepared by a government task force and is expected to be approved by consensus. In 1988, however, the PPP forced a recorded vote on two amendments to the Broad Outlines of State Policy, which, although the government won overwhelmingly, was taken by some observers as an indication that automatic adherence to the requirement for consensus was no longer a given in Indonesian politics. The first issue advanced by the PPP had to do with the legal status of Javanese mysticism (aliran kepercayaan) as a recognized religion. Aliran kepercayaan is the formal expression of kebatinan (see Glossary) or religiously syncretic Javanism, a set of religious practices that the PPP rejected as heterodoxy (see Islam , ch. 2). The second amendment had to do with a commitment to cleaner and fairer elections. This issue reflected the PPP's experiences in the 1987 general election. In 1992, in response to the perception that the MPR was no longer satisfied with a rubber-stamp role, Suharto declared that the 1993 MPR would have greater input into the initial stages of drafting the Broad Outlines of State Policy.

    Data as of November 1992
  • edited September 2009
    dianidiani wrote:
    arasso wrote:
    Lagian nekat sih..udah jelas agama yg diperbolehkan cuma lima kok ini pengen nambahin agama baru siih...wkwkwkwkwk....
    Btw, nama agamanya keren juga tuh. Itu beneran namanya gitu atau karangan saudara lu aja sih? :lol:
    Itulah maksud aku. Yg salah itu sistem represifnya. Ga bs islam yg disalahkan. Kalau argumen nya kayak gitu,ya sekalian aja salahkan 5 agama yanga ada:islam,katolik,protestan,hindu,buddha..
    Saudaranya dianidiani itu kan karena tidak diperbolehkan menuliskan kejawen (misalnya) kan bs aja nulis kristen,atau buddha,atau hindu,atau islam. Tapi kenapa cuma islam yg disalahkan? Nah logikanya kan dah ga benar tuh.

    Kyk 'ngomong' sama tembok ya!!!
    You're missing the point AGAIN!! :roll:
    Gue TIDAK nyalahin agama islam etc. Jelas2 gue disitu nulis APARAT yg gak ngebolehin saudara kakek gue itu untuk mencantumkan 'agama; dia!!

    Kalau lu emang cermat, apa ditulisan itu gue mencantumkan kalimat yg menyalahkan agama islam?
    Grrr....
    :evil: :evil: :evil: :evil:
    Astaga. Sori ngomong kasar ya. Loe bodoh apa bodoh siy? Lol
    Gw dari awal nulis ini untuk mengkomentari tulisan picky yg menyalahkan islam,mengatakan tentang islamisasi,menyebut islam agama penjajah. Nah tentang sodara lo itu kan gw jelas2 tulis MISALNYA. Jadi itu gw ngasi contoh,tapi tetap dlm konteks statement picky,bukan dirimu! Ngerti darling?

    @ charm :
    Sorry ya ngomong kasar..lu itu bodo atau bego?
    1. Loe tulis kalau sekarang org boleh mencantumkan agama apa aja, ternyata salah kan?? Do ur research sebelum dengan tololnya mengeluarkan statement. Kalau baru 'kira2' ,'kayaknya' mendingan research dulu. Krena kalau udah dicantumin tapi ternyata salah. it will reflects badly on you, making you look stupid.

    2. Udah gue jelasin kan kenapa saudara gue itu mencantumkan islam instead of others..karena semua keluarganya islam. Dan yg mengharuskan dia mencantumkan adalah APARAT . Gue TIDAK pernah menyalahkan agama apapun.

    @ araso :
    iya..mungkin nama itu karangan dia aja ya..gue actually juga gak pernah denger sih agama yg namanya kyk gitu. Kyk nama sekolah! :D
  • picky wrote:
    gw yakin loe bisa nebak sendiri backgorund partai2 wakil2 rakyat tersebut[/b]
    Yaolo,bodoh kok dipelihara. Gw ga mau nebak,gw ngomong fakta aja. Semenjak pemilu demokratis di indo,mayoritas partai yg menang kursi adalah partai nasionalis,BUKAN partai agama.
  • Yaolo,bodoh kok dipelihara. Gw ga mau nebak,gw ngomong fakta aja. Semenjak pemilu demokratis di indo,mayoritas partai yg menang kursi adalah partai nasionalis,BUKAN partai agama.

    hi hi hi hi ternyata hurufnya masih kurang besar ha ha ha ha ha ha

    http://www.photius.com/countries/indonesia/government/indonesia_government_peoples_consultativ~30.html
    Indonesia People's Consultative Assembly (MPR)

    The highest constitutional body is the People's Consultative Assembly (MPR), which meets every five years in the year following the elections to the parliament--the House of People's Representatives (DPR). The MPR has 1,000 seats, 500 of which are assigned to the members of the DPR. Of the other 500 seats, 100 are reserved for representatives of professional groups, including ABRI, appointed by the president and, as of 1992, 147 seats were held by delegates elected by provincial-level legislative assemblies. The balance of seats--253 in 1992--were assigned after the 1987 DPR elections on a proportional basis to representatives of the political parties, depending on their respective membership in the DPR. Golkar took the largest number of these seats based on its 1987 winning of 299 of the 400 elected DPR seats. This election resulted in a total of 540 Golkar seats in the MPR, an absolute majority even without counting the ABRI faction and the provincial-level representatives. The Muslim-based PPP only had sixty-one DPR seats and ninety-three MPR seats, whereas the PDI, with its forty DPR seats, was at the bottom of the MPR list (see Political Parties , this ch.).

    The principal legislative task of the MPR is to approve the Broad Outlines of State Policy, a document that theoretically establishes policy guidelines for the next five years. The draft is prepared by a government task force and is expected to be approved by consensus. In 1988, however, the PPP forced a recorded vote on two amendments to the Broad Outlines of State Policy, which, although the government won overwhelmingly, was taken by some observers as an indication that automatic adherence to the requirement for consensus was no longer a given in Indonesian politics. The first issue advanced by the PPP had to do with the legal status of Javanese mysticism (aliran kepercayaan) as a recognized religion. Aliran kepercayaan is the formal expression of kebatinan (see Glossary) or religiously syncretic Javanism, a set of religious practices that the PPP rejected as heterodoxy (see Islam , ch. 2). The second amendment had to do with a commitment to cleaner and fairer elections. This issue reflected the PPP's experiences in the 1987 general election. In 1992, in response to the perception that the MPR was no longer satisfied with a rubber-stamp role, Suharto declared that the 1993 MPR would have greater input into the initial stages of drafting the Broad Outlines of State Policy.

    Data as of November 1992
  • picky wrote:
    Ih please deh darling. Loe kali yg ga gaul. Ga liat berita hari ini ya tentang aliran kristen apa gitu yg jadi masalah di manado? Td malam ada di metro tv. Jadi yg begini2 ini memang ada di semua agama! Ga bs loe tebang pilih dan nyalahkan islam doang. Gw komenin kamu krn kamu judgement nya ga fair dan menjelek2kan satu agama tertentu aja.

    hi hi hi hi mungkin hurufnya kurang besar kali yee

    http://www.photius.com/countries/indonesia/government/indonesia_government_peoples_consultativ~30.html
    Indonesia People's Consultative Assembly (MPR)

    The highest constitutional body is the People's Consultative Assembly (MPR), which meets every five years in the year following the elections to the parliament--the House of People's Representatives (DPR). The MPR has 1,000 seats, 500 of which are assigned to the members of the DPR. Of the other 500 seats, 100 are reserved for representatives of professional groups, including ABRI, appointed by the president and, as of 1992, 147 seats were held by delegates elected by provincial-level legislative assemblies. The balance of seats--253 in 1992--were assigned after the 1987 DPR elections on a proportional basis to representatives of the political parties, depending on their respective membership in the DPR. Golkar took the largest number of these seats based on its 1987 winning of 299 of the 400 elected DPR seats. This election resulted in a total of 540 Golkar seats in the MPR, an absolute majority even without counting the ABRI faction and the provincial-level representatives. The Muslim-based PPP only had sixty-one DPR seats and ninety-three MPR seats, whereas the PDI, with its forty DPR seats, was at the bottom of the MPR list (see Political Parties , this ch.).

    The principal legislative task of the MPR is to approve the Broad Outlines of State Policy, a document that theoretically establishes policy guidelines for the next five years. The draft is prepared by a government task force and is expected to be approved by consensus. In 1988, however, the PPP forced a recorded vote on two amendments to the Broad Outlines of State Policy, which, although the government won overwhelmingly, was taken by some observers as an indication that automatic adherence to the requirement for consensus was no longer a given in Indonesian politics. The first issue advanced by the PPP had to do with the legal status of Javanese mysticism (aliran kepercayaan) as a recognized religion. Aliran kepercayaan is the formal expression of kebatinan (see Glossary) or religiously syncretic Javanism, a set of religious practices that the PPP rejected as heterodoxy (see Islam , ch. 2). The second amendment had to do with a commitment to cleaner and fairer elections. This issue reflected the PPP's experiences in the 1987 general election. In 1992, in response to the perception that the MPR was no longer satisfied with a rubber-stamp role, Suharto declared that the 1993 MPR would have greater input into the initial stages of drafting the Broad Outlines of State Policy.

    Data as of November 1992

    Berarti bener dong aliran kepercayaan, kejawen, budi whatever it is itu tetep gak boleh. Padahal ada yg bilang sekarang semua boleh mencantumkan agama apa aja di KTP lhoo..... :roll:
  • dianidiani wrote:
    Berarti bener dong aliran kepercayaan, kejawen, budi whatever it is itu tetep gak boleh. Padahal ada yg bilang sekarang semua boleh mencantumkan agama apa aja di KTP lhoo..... :roll:

    masih banyak yang gak sadar banyak yang mau mengislamkan Indonesia

    agama2 lokal/aliran kepercayaan digerus

    syariat islam dibuat

    entah apalagi ha ha ha ha ha
  • dianidiani wrote:
    1. Loe tulis kalau sekarang org boleh mencantumkan agama apa aja, ternyata salah kan?? Do ur research sebelum dengan tololnya mengeluarkan statement. Kalau baru 'kira2' ,'kayaknya' mendingan research dulu. Krena kalau udah dicantumin tapi ternyata salah. it will reflects badly on you, making you look stupid.

    [/color]
    Di peraturan dan konstitusi memang demikian darling. Warganegara bebas memeluk agama dan kepercayaan nya masing2. Kalau pada prakteknya tidak demikian,jadi saya pikir kita sepakat bhw itu salah aparat dan salah negara dalam penegakan ham..
    Kedua,gw komen yg di atas itu dalam konteks mengomentari picky yg tebang pilih dalam mendiskreditkan agama. Kalaupun sy mencantumkan nama saudaramu,itu hanya semata2 contoh (kan ada saya tulis 'misalnya') untuk menjelaskan kesalahan alur berpikir picky yang menyalahkan islam.
    Semoga salah paham udah clear.
    Piss
  • toyo wrote:
    FYI: Ini bagi2 orang yang demen formalisasi syariat islam, ini lah contohnya dan dampaknya, sudah masuk dunia barbar.

    Qanun Jinayat yang diusulkan pemerintah Aceh disahkan parlemen pada Senin (14/9). Dalam Qanun yang disahkan secara aklamasi itu mengatur soal judi, zina, minuman beralkohol, homoseksual, lesbian, pemerkosaan, dan pedofilia. Para pelanggar pidana yang telah diatur dalam qanun ini diancam dengan hukuman cambuk berkisar antara 10 hingga 400 kali cambukan. Sementara khusus pelaku zina yang telah menikah akan dirajam dengan cara melempar batu hingga meninggal.

    Ifdhal menilai hukum rajam yang diatur di Qanun jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rajam bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua HAM, tentang jaminan perlindungan hak azasi termasuk tidak boleh dilakukannya hukuman yang kejam.

    “Benar, Aceh berlaku syariat Islam, tapi apapun dasarnya, harus tetap diletakkan dalam sebuah kerangka nasional dan hukum dibuat idak boleh melanggar hukum nasional,” kata Ifdhal, kelahiran Aceh. “Menerapkan hukum sesuai syariat islam boleh-boleh saja, tapi haruslah dekat dengan masyarakat dan negara. Artinya juga menghormati HAM.”

    Hal senada dikemukakan Hendardi. Mantan Direktur Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) itu menilai cambuk dan rajam merupakan bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusia. “Merendahkan martabat yang betentangan dengan Konvensi Anti-Penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” kata Hendardi dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi acehkita.com, Selasa (15/9).

    Ketua Badan Pengurus Setara Institute ini menyebutkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bertanggungjawab atas pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat di Provinsi Aceh kemarin. “Qanun itu sebagai klimaks irrasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia,” kata dia.

    Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail mengatakan, Qanun Jinayah sama sekali tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.

    “Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM,” kata Mawardi Ismail saat dihubungi Kamis (10/9) sore.

    Dia menyebutkan, hukuman cambuk dan rajam menjadi dua hal yang sering dipermasalahkan banyak kalangan. Menurutnya, hukuman cambuk bukan hanya berlaku di Aceh, tapi juga di Singapura dan Malaysia. “Kenapa yang di sana tidak dipersoalkan?” tanya Mawardi.

    http://www.acehkita.com/berita/qanun-jinayat-melanggar-ham/


    Back to the main topic.

    Menurut pendapat teman2 sendiri, apa yang akan teman2 lakukan kalau (misalnya) hukum qanun whatever ini benar2 berlaku di seluruh Indonesia?
  • dianidiani wrote:
    Berarti bener dong aliran kepercayaan, kejawen, budi whatever it is itu tetep gak boleh. Padahal ada yg bilang sekarang semua boleh mencantumkan agama apa aja di KTP lhoo..... :roll:

    [/quote]
    Huff pantas ga nyambung!
    Yg dikasi contoh sama si picky itu MPR zaman tahun soeharto ya?
    Yg gw omongin adalah peraturan yg dibikin pasca reformasi.
    Zaman udah maju darling! Lol
  • dianidiani wrote:
    toyo wrote:
    FYI: Ini bagi2 orang yang demen formalisasi syariat islam, ini lah contohnya dan dampaknya, sudah masuk dunia barbar.

    Qanun Jinayat yang diusulkan pemerintah Aceh disahkan parlemen pada Senin (14/9). Dalam Qanun yang disahkan secara aklamasi itu mengatur soal judi, zina, minuman beralkohol, homoseksual, lesbian, pemerkosaan, dan pedofilia. Para pelanggar pidana yang telah diatur dalam qanun ini diancam dengan hukuman cambuk berkisar antara 10 hingga 400 kali cambukan. Sementara khusus pelaku zina yang telah menikah akan dirajam dengan cara melempar batu hingga meninggal.

    Ifdhal menilai hukum rajam yang diatur di Qanun jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rajam bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua HAM, tentang jaminan perlindungan hak azasi termasuk tidak boleh dilakukannya hukuman yang kejam.

    “Benar, Aceh berlaku syariat Islam, tapi apapun dasarnya, harus tetap diletakkan dalam sebuah kerangka nasional dan hukum dibuat idak boleh melanggar hukum nasional,” kata Ifdhal, kelahiran Aceh. “Menerapkan hukum sesuai syariat islam boleh-boleh saja, tapi haruslah dekat dengan masyarakat dan negara. Artinya juga menghormati HAM.”

    Hal senada dikemukakan Hendardi. Mantan Direktur Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) itu menilai cambuk dan rajam merupakan bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusia. “Merendahkan martabat yang betentangan dengan Konvensi Anti-Penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” kata Hendardi dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi acehkita.com, Selasa (15/9).

    Ketua Badan Pengurus Setara Institute ini menyebutkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bertanggungjawab atas pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat di Provinsi Aceh kemarin. “Qanun itu sebagai klimaks irrasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia,” kata dia.

    Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail mengatakan, Qanun Jinayah sama sekali tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.

    “Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM,” kata Mawardi Ismail saat dihubungi Kamis (10/9) sore.

    Dia menyebutkan, hukuman cambuk dan rajam menjadi dua hal yang sering dipermasalahkan banyak kalangan. Menurutnya, hukuman cambuk bukan hanya berlaku di Aceh, tapi juga di Singapura dan Malaysia. “Kenapa yang di sana tidak dipersoalkan?” tanya Mawardi.

    http://www.acehkita.com/berita/qanun-jinayat-melanggar-ham/


    Back to the main topic.

    Menurut pendapat teman2 sendiri, apa yang akan teman2 lakukan kalau (misalnya) hukum qanun whatever ini benar2 berlaku di seluruh Indonesia?

    Untuk gue sendiri secara personal gak terlalu pengaruh, karena gue sekeluarga ( termasuk pacar dan keluarga dia ) pemegang PR dari negara lain. Artinya gue dan keluarga bisa lebih mudah untuk pindah dan menetap di negara tersebut.
    Tapi kalau untuk temen-temen gue...aduhh...gue gak kebayang temen-temen gue ( apalagi geng the partygoers..hehehehe) kalau harus hidup under that draconian law!!!
  • dianidiani wrote:
    Berarti bener dong aliran kepercayaan, kejawen, budi whatever it is itu tetep gak boleh. Padahal ada yg bilang sekarang semua boleh mencantumkan agama apa aja di KTP lhoo..... :roll:

    Huff pantas ga nyambung!
    Yg dikasi contoh sama si picky itu MPR zaman tahun soeharto ya?
    Yg gw omongin adalah peraturan yg dibikin pasca reformasi.
    Zaman udah maju darling! Lol

    ha ha ha ha, tau yang namanya Preseden ..................?????? gak masalah tahun berapa dan jaman siapa,.....................

    dalam berita itu tentang amandemen garis2 besar haluan negara, dont you get it .......................????? selama belum dicabut oleh MPR, masih tetep berlaku, karena MPR dan anggotanya gak mau mencabutnya

    sama aja seperti TAP MPRS tentang ajaran komunis, dari tahun 1967 sampai sekarang masih aja berlaku, karena MPR dan anggotanya gak mau mencabutnya

    Aliran Kepercayaan, Agama atau Budaya
    Koran Tempo, Senin, 27 Nopember 2006

    Kiai sepuh Nahdlatul Ulama dari Jember, Jawa Timur, Abdul Muchid Muzadi dan Washil Syarbini, menolak tegas kemungkinan mengakui aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai agama. “Bisa jadi sejarah 1970-an terulang lagi. Jadinya ribut-ribut,” kata Muchid awal November lalu.

    Kakak kandung Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi itu menuturkan pemerintah pernah berencana mengakui aliran kepercayaan sebagai agama pada pertengahan 1970-an. Namun, reaksi keras bermunculan. Akhirnya, niat itu surut, lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan instruksi Menteri Agama pada 1978 bahwa aliran kepercayaan bukan agama. “Tapi bagian dari budaya yang harus dibina,” ujarnya.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri A. Rasyid Saleh mengungkapkan pemerintah bersama DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mengatur landasan hukum pengakuan aliran kepercayaan dalam pencatatan kependudukan. Penyelesaian RUU ini dilakukan untuk mempercepat pengakuan aliran kepercayaan sebagai agama.

    Washil Syarbini mengingatkan, jika Menteri Agama menyetujui aliran kepercayaan menjadi atau setara dengan agama, akan timbul konflik sosial antara pemeluk agama dan aliran kepercayaan. Selama ini, kata dia, pemeluk kepercayaan telah mengakui bahwa keyakinannya hanyalah budaya. “Kalau sekarang pemerintah mau mengakuinya sebagai agama, dasarnya apa? Jangan hanya sekadar untuk kepentingan KTP, kehidupan umat beragama jadi kacau,” ujarnya.

    Bagi Muchid, rencana itu merupakan salah satu dampak liberalisasi dalam pemikiran dan kehidupan beragama yang makin marak. Padahal mengakui dan memberikan ruang serta hak bagi pemeluk agama dan aliran kepercayaan untuk melakukan ajaran dan keyakinan masing-masing saja sudah cukup.

    Jika pemerintah hanya mempertimbangkan alasan diskriminasi atau hak asasi dalam kehidupan beragama tanpa melihat situasi riil dalam masyarakat, kedua kiai ini menegaskan, hal itu dikhawatirkan malah akan menyulut kontroversi yang berdampak konflik sosial. Sebab, aliran kepercayaan di Indonesia itu banyak macamnya. “Kalau yang satu diakui sebagai agama, yang lain juga minta diakui. Lama-lama kehidupan beragama jadi kisruh,” ungkap Muchid.
  • lex posterior derogat legi priori
  • edited September 2009
    http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/04/09/mereka-terpaksa-memilih-islam-atau-kristen/

    Terpaksa Pilih Islam Karena Aliran kepercayaan tdk diakuiby Laurent » Mon Jun 09, 2008 3:21 pm
    Oleh : Jarar Siahaan

    SUDAH 61 tahun lamanya Indonesia merdeka, sudah selama itu pula Undang-Undang Dasar kita menjamin kebebasan beragama, tapi sampai kini masih ada kelompok warga yang belum diberi kemerdekaan sepenuhnya dalam urusan agama. Satu dari sekian kelompok itu ialah para penganut Ugamo Malim — lebih dikenal sebagai Parmalim — yang oleh pemerintah tidak diakui sebagai agama resmi, melainkan aliran kepercayaan.

    Memang mereka bebas menjalankan ritual agamanya. Namun saat berhadapan dengan aparat pemerintahan, mereka tidak merdeka. Contohnya saat mengurus surat-surat kependudukan, mereka terpaksa memilih agama lain — biasanya Islam atau Protestan. Tentu tak terbayangkan betapa sakitnya batin mereka karena harus membohongi nurani sebagai pengikut Parmalim.

    “Banyak teman terpaksa memilih Islam dan Kristen agar surat-suratnya keluar. Memang sakit. Nurani kami dibantai,” ujar Monang Naipospos, Sekretaris Parmalim, saat ditemui di rumahnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, beberapa waktu lalu.

    Warga Parmalim di seluruh Indonesia umumnya kesulitan mendapatkan KTP dan akte perkawinan. Naipospos mencontohkan seorang pria pengikut Parmalim di Propinsi Papua yang bekerja di PT Freeport. Kala itu dia menikah secara Parmalim di Laguboti dan diberi surat bukti perkawinan oleh pengurus Parmalim. Tapi surat perkawinan ini tidak diakui pihak Kantor Catatan Sipil (Capil) di sana, sehingga akte perkawinan pun tidak terbit. Capil lalu meminta yang bersangkutan mengurus surat dari pengadilan negeri (PN) bahwa perkawinan mereka sah. Surat dari PN ternyata diberikan, tapi tetap juga Capil tidak membuat akte tersebut.

    “Padahal akte itu sangat perlu untuk mengurus tunjangan bagi istrinya dari perusahaan tempatnya bekerja,” kata Naipospos. Alasan pejabat pemerintah dari kantor kecamatan maupun Catatan Sipil tidak mudah memberikan surat kependudukan bagi mereka ialah adanya surat edaran Menteri Dalam Negeri pada 1995 yang melarang dikeluarkannya akte perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan.

    Akhirnya kebanyakan warga Parmalim memilih tunduk pada peraturan birokrasi asalkan urusannya selesai. Seperti mengurus KTP, banyak mereka yang mencantumkan agama Islam. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Batam, lanjut Monang Naipospos, warga Parmalim harus memilih satu dari lima agama resmi karena sistem komputerisasi KTP mengharuskan demikian. Paling banyak mereka memilih Islam dan bukan Kristen. “Saya tidak tahu kenapa lebih banyak pilih Islam,” katanya saat ditanya.

    Di beberapa daerah yang KTP-nya masih diketik manual memang kadang bisa diperoleh KTP dengan mencantumkan “Parmalim” pada kolom agama. “Tapi itu pun tergantung camatnya.” Di Tobasa sendiri umumnya jemaat Parmalim harus memilih satu dari lima agama resmi agar diberi KTP. Dalam hal ini Naipospos agak istimewa. Dia tidak pernah dipersulit mengurus KTP dan agamanya pun tidak diubah. Mungkin karena dia termasuk tokoh Parmalim dan punya akses ke birokrasi. “Mungkin begitu,” ucapnya.

    Parmalim adalah agama pertama orang Batak sebelum masuknya Islam dan Kristen ke kawasan Tapanuli. Tokoh besar yang menjadi penganut Parmalim generasi pertama adalah pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII. (www.ayomerdeka.wordpress.com)
Sign In or Register to comment.